Kamis, 11 Juni 2009

PEMBELAJARAN PAKEM

REVITALISASI PEMBELAJARAN MELALUI PENDEKATAN PAKEM

A. Filosofis Pendidikan dan Pembelajaran.

Sekumpulan masyarakat tentunya menginginkan agar setiap warganya merupakan insane-insan yang baik, sesuai dengan cita-cita dan nilai sosial masyarakat tersebut. Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia yang baik. Menurut cita-cita dan nilai tersebut, pandangan tentang manusia yang dicita-citakan tergambar dari falsafah pendidikan yang mendasari sistem pendidikan masyarakat tersebut. Salah satu perumusan tentang falsafah pendidikan dikemukakan oleh Romine dalam Hamalik (2008) bahwa falsafah pendidikan menyatakan sesuatu yang sangat penting, karena mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nilai-nilai yang sangat baik menurut pandangan masyarakat. Di samping itu, suatu falsafah pendidikan memberikan petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat. Selain itu, falsafah pendidikan juga merupakan semacam guiding principles bagi setiap orang, dalam hal ini memberikan petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita yang diharapkan di atas.

Ketercapaian sebuah cita-cita akan sebuah nilai-nilai sosialistik, maka dipentingkan adanya sebuah resiprokal yang positif dengan dunia pendidikan. Di mana pendidikan akan menjadi cerminan sebuah kehidupan sosial masyarakat dan begitu pula sebaliknya, hal ini dikarenakan adanya sebuah tumpuan harapan bahwa pendidikan akan membentuk sebuah karakteristik manusia sosial mampu menjalankan nilai-nilai kehidupan dengan sebaik-baiknya sehingga akan memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupannya. Interaksi kehidupan sosial termasuk yang diharapkan mesti harus ada suatu landasan pemikiran yang melandasinya, pada umumnya terdapat empat falsafah kehidupan sosial yang didalamnya terdapat juga falsafah terkait pendidikan.

Empat falsafah tersebut menurut Hamalik (2008) adalah sebagai berikut:

  1. Rekonstruksisme

Falasafah rekonstruksisme mengikuti alur yang menyakinkan dan mengemukakan bahwa keberadaan pendidikan adalah untuk adanya perbaikan dalam masyarakat. Pemikiran falsafah ini memberikan sebuah pencerahan akan pentingnya sebuah pendidikan dalam kehidupan sosial, sehingga Yamin (2009) menyatakan bahwa pendidikan dengan kehidupan sosial harus menjalankan hubungan resiprokal (timbal balik). Realita kehidupan mayarakat merupakan sebuah cerminan dari peran sebuah pendidikan, di mana dalam hal ini dikarenakan adanya kehidupan sosial yang merukan bentukan daripada manusia sebagai komponen sentralistik yang notabene adalah hasil didikan dari dunia pendidikan.

Nilai-nilai rekostuksisme memandang bahwa dalam kehidupan sosial ditemukan adanya dominansi pemikiran tentang pendidikan sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan. Asumsi seperti itulah yang mendasari adanya sebuah pergeseran nilai-nilai falsafah pendidikan rekonstruksisme dan cenderung akan membentuk kehidupan sosial yang adhoc dan parsial serta memunculkan adanya pola interaksi yang parasitisme dan sektarian. Kecenderungan negatif sosialistik itulah yang mendorong falsafah rekonstruksisme diharapkan akan menumbuhkan nilai-nilai yang mampu membangun paradigma berpikir yang positif dalam mengartikan hubungan resiprokal pendidikan dan kehidupan sosial. Di mana pendidikan diharapkan akan menjadi agen utama dalam pembenahan sosial, ekonomi, politik serta mampu mencapai mufakat dalam mengambil solusi.

  1. Perenialisme

Falasah perenialisme telah mewarnai kehidupan manusia sejak tradisi plato dan aristoteles berkembang, di mana mengandung nilai yang memberikan sebuah pandangan terhadap masyarakat tentang arti sebuah pendidikan. Pada masa tersebut pendidikan bermaksud mengatur pikiran, kemampuan, perkembangan rasio, dan pencarian kebenaran. Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika, bahasa lam dan baru, matematika, dan peradaban dunia.

Para ilmuan menyatakan bahwa perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuhan sekarang siswa, spesifikasi pendidikan, dan latihan kejuruan. Hutchins memberikan penekanan ini ketika ia menyatakan bahwa pendidikan yang disempurnakan untuk kebutuhan mendesak, bukanlah sebuah pendidikan yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar, perenialisme tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik untuk sistem pendidikan.

  1. Esensialisme

Menurut sejarah, esensialisme berhasil mengendalikan kesetiaan masyarakat umum Amerika dari tahun 1635, yang diawali dengan berdirinya sekolah Latin Boston sampai tahun 1896, atas prakarsa asisten John Dewey di Universitas Chicago. Menurut esensialisme bahwa pendidikan bertujuan untuk menyebarkan budaya. Apabila rekonstruksionis hendak mengubah masyarakat secara aktif, sebaliknya esensialisme menghindari hal tersebut.

Bahan pokok kurikulum adalah sebuah rencana esensialisme tentang organisasi kurikulum dan teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes sebagai metodenya. Karya ilmiah, yakni kemampuan mendaur ulang apa yang telah dipelajari merupakan nilai yang tinggi dan pendidikan diawasi sebagai persiapan mencapai maksud pendidikan seperti perguruan tinggi, lapangan kerja dan kehidupan. Nilai falsafah inipun mengandung prinsip behavioristik, yaitu esensialitas menemukan dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. Kemampuan dasar menjadi prioritas bagi esensialis.

  1. Progresivisme

Pada akhri abad-19 dan awal abad-20, progresivisme yang dikenal dengan nama pragmatisme berkembang melalui struktur pendidikan di Amerika sebagai jawaban atas doktrin esensialisme. Dengan tokoh-tokohnya seperti John Dewe, William H. Kilpatrick, John Childs dan Boyd Bode, progresivisme berupaya menyajikan bahan dasar bagi para pelajar. Sikap progeresivis yang dikemukakan bahwa anak harus memahami pengalaman pendidikan “disini” dan “sekarang”, mempunyai filosofi “pendidikan adalah hidup” dan “ belajar dengan melakukan”. Para progersivis mendorong pendidikan agar menyediakan sebuah pembelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam mental, fisik, emosi, spiritual dan perbedaan sosial.

Pendidikan sebagai salah satu komponen kehidupan sosial mementingkan adanya sebuah nilai-nilai falsafah yang mendasarinya, sebagaimana dengan pendidikan Nasional Indonesia yang melandaskan pada falsafah pancasila. Filsafat yang merupakan artian dari pandangan hidup seseorang atau kelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

Nilai-nilai falsafah pancasila diharapkan akan mampu membentuk sebuah kehidupan masyarakat yang madani, sehingga penjabaran praktis filsafat tersebut tentang arti sebuah pendidikan dituangkan dalam sebuah regulasi hukum formal yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal (1) ayat 1 menyatakan bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan.akhlaq mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pasal (1) ayat 2 menyatakan bahwa: pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nilai-nlai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang khusus ditujukan kepada warga negara (nation); nation dalam arti bangsa, bernegara dan berdaulat. Maka eksistensi warga negara (nation) adalah turut serta mewujudkan apa yang menjadi cita-cita sebagai warga negara. Dan cita-cita bangsa dan negara adalah terwujudnya masyarakat yang tertib dan damai, adil dan makmur yang dijiwai nilai-nilai hidup yang bersumber pada filasafat Pancasila. Rumusan tujuan pendidikan nasional mempunyai dua komponen utama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu perkembangan manusia seutuhnya.

Penetapan rumusan tujuan pendidikan nasional yang tepat merupakan masalah yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan, karena tujuan pendidikan merupakan sentral bagi ditentukannya arah pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas terhadap pendidikan, maka pendidikan itu akan kabur tanpa arah. Tujuan pendidikan secara tegas menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis dan perenungan filosofis. Sebab dalam tujuan setiap bentuk pendidikan, terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidikannya maupun lembaga yang mendidik atau negara. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.

Amanat konstitusi tentang Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya menjadi landasan filosofis pendidikan nasional. Upaya kearah itu telah berulang kali dirumuskan, namun sampai saat ini belum menghasilkan rumusan konkrit tentang filosofi pendidikan nasional yang akan dijadikan acuan/ basis bagi implementasi penyelenggaraan pendidikan nasional.

Makna yang terkandung pada alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945, khususnya tentang mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mengembangkan kapasitas dan integritas secara terus menerus setiap insan Indonesia, melalui peningkatan kualitas fisik, pikir dan kalbu agar mampu memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan, menciptakan dan memanfaatkan peluang, mengidentifikasi masalah serta menemukan alternatif solusi sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan memerlukan filsafat. Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalaman maupun fakta faktual, dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan selalu berhubungan langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan.

Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karakteristik filsafat yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Brubacher (dalam Heryanto, 2002) mengemukakan hubungan antar filsafat dengan filsafat pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya melahirkan ilmu atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan Jhon Dewey berpendapat bahwa filsafat adalah teori umum pendidikan.

Pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat, dengan kata lain filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelengaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan tidak akan dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya, sehingga hanya dengan memahami tujuan hidup manusia dan masyaraktlah maka tujuan pendidikan akan dapat dipahami dengan jelas.

Pancasila sebagai falsafah yang melandasi pendidika Nasional Indonesia merupakan landasan filosofis Bangsa, yang telah ada sejak zaman purba, namun baru disusun dan dideklarasikan secara formal sejak 17 Agustus 1945. Memperhatikan hal ini. Bersama dengan falsafah pancasila yang melandasi pendidikan Nasional dan sekaligus sebagai ideologi bangsa yang tertanam pada pribadi bangsa Indonesia secara konstitusional dan individualistik. Sehingga di harapkan akan membentuk sebuah korelasi potif atau hubungan resiprokal (timbal-balik) yang positif antara pendidikan dan kehidupan sosial demi ketercapain tatanan bangsa yang lebih baik.

Bangsa Indonesia mendambakan adanya pendidikan yang dapat menjamin kualitas manusia Indonesia. Penbangunan yang diadakan oleh bangsa Indonesia mencapai kemajuan yang sangat berarti. Namun diakui pula kemajuan pendidikan yag dicapai itu sebagian besar masih dalam artian kuantitas. Kenyataan yang objektif memperlihatan bahwa dunia pendidikan kita masih belum dapat memberi kepastian tentang kualitas kehidupan manusia yang diharapkan. Kualitas yang diharapkan adalah kualitas mencerminkan adanya keseimbangan antara jasmani dan rohani. Konsep dasar pendidikan Nasional Indonesia adalah konsep pendidikan Pancasila yang merupakan konsep pendidikan sepanjang hayat. Sampai kini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganut paham life long education.

B. Psikologi Pembelajaran

Pendidikan berfungsi menciptakan lingkungan belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah perlu menyusun suatu program yang tepat dan serasi, sehingga memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar secara efisien dan berhasil. Pembentukan program pembelajaran dipentingkan adanya psikologi balajar dan sifat-sifat belajarr demi keterlaksanaan sebuah proses yang efektif. Pembelajaran atau proses belajar pada prinsipnya dilakukan oleh semua mahluk hidup, mulai dari bentuk kehidupan yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Efektivitas proses pembelajaran tersebut tergantung pada tingkat kerumitan jenis kehidupannya, sehingga manusia sebagai salah satu mahluk yang unik, maka akan melakukan proses pembelajaran dengan cara yang unik pula (Hamalik, 2008).

Terdapat berbagai macam tafsiran tentang belajar, bergantung pada pembuat rumusan itu dan sangat ditentukan oleh aliran atau sistem psikologi yang dianutnya. Contohnya Psikologi daya berpendapat, bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang dimiliki oleh manusia. Dengan latihan tersebut, akan terbentuk dan berkembang berbagai daya yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti daya ingat, daya pikir, daya rasa, dan sebagainya. Pandangan baru menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat latihan dan pengalaman. Sejalan dengan perumusan tersebut, Romine berpendapat bahwa belajar merupakan sebuah prosess dan bukan hasil yang hendak dicapai semata. Proses tersebut berlangsung melalui serangkaian pengalaman, sehingga terjadi modifikasi pada tingkah laku yang telah dimilikinya sebelumnya. Jadi, berdasarkan proses akan terjadi tujuan (ends), sesuatu yang dikehendaki oleh pendidik (Nasution, 2008).

Dalam psikologi belajar terdapat beberapa aliran yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri tentang belajar tersebut. Setiap teori pun mempunyai implikasi tersendiri dalam suatu proses pembelajaran berlangsung. Adapun aliran psikologi belajar tersebut menurut Hamalik (2008) adalah sebagai berikut :

1. Psikologi daya, pandangan ini berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat berbagai daya dalam pribadinya yang bisa diekspresikan melalui proses belajar. Daya-daya tersebut harus dilatih agar dapat berfungsi dengan baik, seperti mengingat, berpikir, merasakan, berkehendak, dan sebagainya.

2. Teori mental state, padangan ini mengungkapkan bahwa jiwa manusia sesungguhnya terdiri atas berbagai kesan atau tanggapan yang masuk melalui alat indra, berasosiasi satu sama lainnya, untuk kemudian membentuk mental atau kesadaran manusia. Kesan tersebut akan tertanam semakin dalam melalui pelatihan. Pandangan ini bersifat materialistik, karena menekankan pada materi atau bahan- bahan yang dipelajari. Belajar berarti menanamkan bahan pelajaran sebanyak-banyaknya yang memiliki etika dan nilai-nilai yang baik.

3. Psikologi Behavioristik, pandangan ini beranggapan bahwa kesan dan ingatan sesungguhnya merupakann kegiatan organisme. Manusia tidak dapat diamati, tetapi kelakukan jasmaniahnyalah yang diamati. Kelakuan itulah yang dapat menjelaskan segala sesuatu tentang jiwa manusia. Kelakuan merupakan jawaban terhadap peranngsang atau stimulus dari luar dengan bentuk hubungan antara stimulus dan respon (S-R).

4. Teori koneksionisme, pada umumnya teori ini berpandangan bahwa lingkungan mempenagruhi kelakuan belajar suatu individu, sedangakan kelakuan motivasi bersifat mekanis. Pandangan ini kurang memperhatikan proses pengenalan dan berpikir lampau.

5. Psikologi Gestalt, aliran ini yang disebut juga psikologi organismik atau field theoru, bertolak belakang dari keseluruhan. Keseluruha aliran di atas bukanlan penjumlahan bagian-bagian, melainkan suatu kesatuan yang bermakna. Menurut aliran ini terdapat prinsip-prinsip belajarnya yaitu:

· Belajar dimulai dari suatu keseluruhan menuju bagian-bagian.

· Keseluruhan memberikan makna kepada bagian-bagian tersebut.

· Bagian-bagian dilihat dalam hubungan keseluruhan berkat individuasi

· Belajar memerlukan pemahaman atau insight.

· Belajar memerlukan reorganisasi pengalaman yang kontinu.

C. Pembelajaran pembebasan

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kenyataan kehidupannya tidak memiliki suatu kebebasan secara penuh, namun Ia terikat oleh peraturan-peraturan sosial kemasyarkatan dan kebudayaan tempat hidupnya. Manusia harus hidup di bawah paying hokum dan peraturan pemerintah yang nampak ‘mempersempit’ ruang eksperinya. Tiap hari manusia dipengaruhi oleh propaganda dan reklame tentang apa yang harus dilakukannya dalam kehidupan sosial. Semua manusia pada dasarnya merupakan hasil dari kebudayaan masing-masing dan demikian manusia itu sebagai individu tidak bebas untuk menentukan pribadinya sendiri (Kaswardi, 1993).

Manusia semenjak lahir telah memiliki karakter pembawaan dari nenek-moyangnya, di mana manusia menerima intelegensi, tipe watak, dan mungkin kelemahan fisik dan psikologi tertentu. Dalam pendidikannya manusia dipengaruhi oleh conditioning tentang kelakuannya, cara makan, berpakaian, berpikir, menyatakan perasaan, sikapnya terhadap manusia lainnya dan sebaginya. Conditioning inilah yang berada dalam kehidupan sosial manusia termasuk dunia pembelajaran di satuan pendidikan. Kebebasan manusia hanyalah sebuah hayalan belaka, karena manusia dibentuk oleh kebudayaan dari luar dan kekuatan psikis dari dalamnya, bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa manusia dibentuk oleh kondisi (Nasution, 2008).

Terkurungnya ekspersi manusia dalam berbagai kondisi baik internal maupun eksternal tidak membuat manusia harus terkungkung di dalamnya, namun manusia harus bersyukur karena masih memiliki satu kebebasan yaitu kebebasan batin. Dengan hal itu manusia tidak perlu terbawa arus kehidupan secara pasif, tetapi harus berani menentukan sebuah pilihan untuk arah hidup kedepannya. Kebebasan batiniah yang menyendiri harus mampu memberikan sebuah solusi dalam dunia pendidikan yang penuh dengan nuansa birokratif.

Adapaun cara mengembangn kebebasan batin tersebut dalam pendidikan menurut Nasution (2008) yaitu:

· Pendidik harus berkelakuan wajar dan benar menurut apa yang terkandung dalam dirinya. Ia hendaknya jangan berbuat pura-pura seakan-akan berkedok, berbuat lebih baik daripada hakekat pribadinya yang sesungguhnya. Untuk mengembangkan kebebasan pada individu pendidik tidak boleh bersandiwara, ia harus jujur dengan ucapannya dan jangan berbuat seakan-akan ia orang yang sempurna tanpa kesulitan. Berbuat jujur sesuai atau kongruen dengan pribadi kita yang sebenarnya tidak mudah karena kita sering menyembunyikan kelemahan dan kekurangan kita untuk menimbulkan kesan baik tentang diri kita.

· Pendidikan harus menerima anak didik dengan segala aspek-aspek pribadinya. Anak didik boleh marah, jengkel, benci, lebut, ramah, malu, berani atau takut, dan pendidik selama menerima anak itu dengan penuh pengertian dan penghargaan tanpa menyatakan penilaiannya tentang kelakuan anak itu. Jadi ia harus selalu mengahargai anak didik tanpa syarat, jadi tidak hanya bila kelakuan anak itu menyenangkan hatinya semata.

· Pengertian empati (empathy), empathy berarti bahwa pendidik mampu melihat dan merasakan sesuatu seperti dilihat atau dirasakan oleh anak didik. Memandang atau merasakan dunia sekitar seperti dipadang atau dialami orang lain bukan sesuatu yang mudah, oleh sebab kita terikat oleh pandangan kita sendiri yang terbentuk selama hidup kita. Namun pendidikan ingin membebaskan peserta didiknya harus berusahan dan belajar untuk memupuk empathy ini. Yang diperlukan anak didik adalah pengertian dari orang yang memandang sesuatu seperti ia memandangnya, bukan penilaian apalagi kecaman. Jika ada orang yang bersedia mendengar dan memahaminya, maka peserta didik lambat laun mulai mendengarkan dan mengamati apa yang terjadi dalam dirinya. Sambil balajar mengenal dirinya, maka ia akan merasakan gejolak jiwa dan mulai menerima keadaan dirinya seperti pendidik menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia akan lebih terbuka untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang semula disembunyikan dan menjadi lebih jujur dalam ucapan, perasaan maupun kelakuannya. Keadaan tersebut akan membentuk peserta didik lambat laun mengenal dirinya sendiri dan menerima kekurangannya.

D. Paradigma Pendidikan

Perubahan paradigma menggema di seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan lebih diorientasikan menghasilkan pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, tumbuh dan berkembang untuk menggapai masa depan. Hal tersebut sinergis secara maknawi seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) bahwa “ pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulai, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (UU RI No. 20 Tahun 2003). Selanjutnya, proses pendidikan di semua lini dan jenjang pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Pasal 4 UU No.20 Tahun 2003).

Banyak penelitian terbaru yang membahas tentang kenyataan bahwa orang belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran pada saat yang bersamaan. Itulah sebabnya mengapa ketika orang belajar secara kontinu dengan cara “melakukan” akan jauh lebih baik dan lebih cepat dari pada mempelajari hal tersebut setahap demi setahap tetapi diluar konteks. Orang akan lebih cepat dan lebih baik dalam menguasai bahasa Inggris ketika langsung berada di Amerika selama 1 tahun dibandingkan dengan mereka yang mempelajari di sekolah selama 3 tahun.

Pembelajaran dalam dunia pendidikan benar-benar merupakan latihan fisik, menatal, dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manudia yang berbudaya. Dengan pendidikan, individu-individu itu diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yan diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih sebagai umatnya di bumi, dan menjadi warga Negara yang berarti dan bermamfaat bagi suatu Negara. Dengan kata lain, bila pembelajaran memiliki hubungan resiprokal yang efektif, maka pembentukan manusia dalam dunia pendidikan akan dilandasi dengan nilai-nilai keagamaan. Dengan pendidikan yang mementikan nilai kerohanian diharapkan akan membentuk manusia dengan derajat yang ‘tinggi’ dan mampu menunaikan fungsinya sebagai umat dengan baik serta bermamfaat sebagai manusia yang cerdas (Azra, 2006).

Lembaga pendidikan memperlihatkan adanya kenyataan yang kontras akan hal itu, di mana seiring dengan perubahan zaman yang mampu menggiring perubahan budaya hidup manusia hingga persentase golongan konservatif semakin mengecil. Reposisi lingkungan budaya manusia kearah neo-liberal diharapkan tidak menjadi sebuah pressur dalam dunia pendidikan kita, namun hal itu hanyalah ungkapan harapan yang harus pupus secara sendirinya dengan kenyataan. Di mana pendidikan sebagai salah satu komponen kehidupan sosial terseret arus liberalisasi yang semakin memojokkan pembentukan nilai-nilai kemanusia di dalamnya. Krisis mentalitas, moral dan karakter peserta didik di setiap satuan pendidikan karena ketidaksiapan lembaga untuk melakukan operasional sebagaimana diharapkan oleh falsafah pancasila sebagai ideology bangsa (Yamin, 2009).

Menurut Azra (2006) bahwa ada tujuh masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas peserta didik dalam satuan pendidikan yaitu; arah pendidikan telah kehilangan obyektifitasnya; proses pendewasaan diri tidak berlangsung; proses pendidikan dalam setiap satuan pendidikan terlalu membelenggu anak didiknya; beban kurikulum yang demikian berat; lebih parah lagi, hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka; beberapa matapelajaran yang berisikan pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan, disampaikan dalam bentuk verbalisme yang disertai dengan rote-memorizing, pada saat yang sama anak didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan (contradictory set of values); dan peserta didik/anak didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik (living moral exemplary) di lingkunganya.

Permasalahan di atas merupakan daftar yang tidak tetap dan juga tidak sempurna, karena bisa juga ditambah dan diperkaya dengan daftar masalah yang lainnya. Namun yang jelas ‘menu sajian’ masalah tersebut harus dicarikan solusinya tidak bisa dilakukan secara ad hoci dan parsial. Bahkan dapat dikatakan, pemecahan masalah tersebut meniscayakan reformasi itu sendiri secara komprehensif. Karena, masalah-masalah dalam dunia pendidikan tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Pendidikan pada posisi sekarang dengan kondisi kenyataan yang sangat kompleks, diharapkan segera melakukan langkah reformasi sistemik demi perwujudan pembentukan manusia madani (civil society). Pendidikan nasional selain peran itu harus mampu melahirkan perwujudan masyarakat demokratis, pelaksanaan otonomi daerah dan perealisasian pemerintahan yang bersih melalui jalur pendidikan nasional walupun masih harus menempuh jalan yang panjang, terjal dan berliku-liku. Maka karena itulah dipentingkan adanya lembaga-lembaga pendidikan baik itu sekolah, madrasah, pesantren, perguruan tinggi dan lainya – yang terintergarasi dalam pendidikan nasional haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, rekstrukturisasi dan reposisi serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional. Upaya-upaya ini harus bertujuan akhir: pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis, bersih, bermoral dan berakhlak; dan berpegang teguh pada nilai-nilai civility (keadaban) (Azra, 2006).

Pencapaian dengan efektif semua harapan pendidikan, maka diperlukan adanya reposisi paradigma pembelajaran yang berlangsung, di mana dipentingkan adanya pemikiran bahwa mengajar bagi guru adalah menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar, hal ini tidak harus berupa proses tranformasi dari guru kepada siswa. Guna meningkatkan keaktifan siswa ada berbagai pendekatan dan metode yang perlu dikembangkan, antara lain pembelajaran kontektual. Menurut Boeree (2008) bahwa ada beberapa “Transfer Belajar” yang diharapkan yaitu:

a). Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.

b). Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit.

c). Penting bagi siswa tahu “untuk apa” ia belajar, dan “bagaimana” ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

d). Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan bagi siswa mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat mengenai hal-hal yang baru.

e). Siswa dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru, akan tetapi untuk hal-hal yang sulit diperlukan bimbingan guru dalam membantu menghubungkan antara yang baru dipelajari dan yang sudah diketahui.

f). Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
Atas dasar ”Transfer Belajar” tersebut diatas maka sesuai dengan paradigma pembelajaran saat ini pembelajaran kontektual dapat digunakan sebagai dasar pembelajaran PAKIEM.

Pembelajaran menurut Hamalik (2008) adalah pengubahan interaksi belajar yang meriah dengan segala nuansanya sehingga pembelajaran berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, sehingga menjadi landasan dan kerangka untuk belajar. Percepatan belajar dengan menyingkirkan hambatan yang mengahalangi proses belajar alamiah dengan secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, dan “keterlibatan aktif”. Azas utama dalam Quantum Teaching adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Kerangka rancangan belajar Quantum Teaching dikenal dengan istilah TANDUR, artinya:

TUMBUHKAN, Tumbuhkan minat dengan memuaskan ”Apakah Manfaatnya BagiKu” (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar.

ALAMI, Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.
NAMAI, Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”.

DEMONSTRASIKAN, Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk “Menunjukkan bahwa mereka tahu”.
ULANGI, Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan,”Aku Tahu Bahwa Aku Memang Tahu”.
RAYAKAN, Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi dan pemerolehan ketrampilan dan ilmu pengetahuan.

Adapun yang dimaksud AMBAK dalam Quantum Learning adalah motivasi yang didapat dari pemilihan antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan. Segala sesuatu yang ingin anda/siswa kerjakan harus menjajikan manfaat bagi anda/siswa atau anda/siswa tidak akan termutivasi untuk melakukannya. Jadi dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan minat apa yang harus dipelajari oleh siswa dengan menghubungkannya melalui ”Dunia Nyata/ kontektual”.

E. Empat Pilar Pendidikan

1. Gambaran / Penjelasan umum

Uraian empat visi dasar UNESCO tersebut adalah sebagai berikut:

a. Learning to know / learning to think (belajar untuk mengetahui/ berpikir)

Belajar untuk mengetahui mengimplikasikan bagaimana cara belajar dengan mengembangkan konsentrasi seseorang, ketrampilan memori dan kemampuan untuk berpikir. Dari masa kanak-kanak, remaja harus belajar bagaimana cara berkonsentrasi objek dan pada orang lain. Proses ini meningkatkan ketrampilan berkonsentrasi dan dapat membantu individu untuk berpeluang belajar dari banyak hal yang berbeda-beda berbeda selama hidup masyarakat (Delors, 2005)

Learning to know dapat juga diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawab atas masalah yang dihadapi secara ilmiah (Soedijarto, 2007).

Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia yang mampu untuk mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai.

Berpikir secara terus-menerus bukanlah hal yang mudah. Termasuk disini adalah berpikir rasional dan kritis, tidak sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang ada, stgnan dan tumpul (Azizy,2003). Jika hal ini dapat dilakukan secara baik, akan menjadikan seseorang independen, mandiri, gemar membaca, memiliki pertimbangan rasional dan logis serta memiliki curiosity (rasa ingin tahu) yang tinggi yang dapat meningkatkan kualitas diri individu untuk menghadapi tantangan zaman. Lebih dari itu dalam abad 21 ini, berpikir ditantang untuk mengikuti perkembangan dan sekaligus mengembangkan alat-alat yang digunakan dalam teknologi informasi yang menjadi salah satu ciri era globalisasi.

b. Learning to do (belajar bagaimana berbuat/ bekerja)

Belajar untuk berbuat atau melakukan sesuatu sangat penting. Pada berbagai kondisi, sejumlah ketrampilan dan kompetensi yang sudah diperoleh akan lebih terlihat jelas apabila siswa diberikan kesempatan mempraktekkan sehingga menjadi pengalaman yang nyata (Delors,1992). Hal ini memerlukan apa yang dinamakan kompetensi personal pada masing-masing individu. Kompentensi personal mengisyaratkan campuran ketrampilan dan bakat, dikombinasikan dengan keterampilan teknis yang dipersyaratkan dan latihan kejuruan, perilaku sosial, prakarsa pribadi dan suatu kesediaan untuk menanggung risiko (Delors, 2005)

Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna ‘’Active Learning‘’. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill).

Menurut Dewey (dalam Sujarwo, 2007) bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di sintesis dari materi yang telah dipelajari bagaimanapun pendidikan dituntut untuk menjadikan peserta didik setelah lulus mampu berbuat dan memperbaiki kualitas hidupnya. Dengan ketatnya kompetisi global kita dituntut untuk semakin professional, mempunyai skill yang mantap unntuk mampu berkompetisi.

c. Learning to Be ( belajar menjadi diri sendiri/ menggali potensi diri)

Tiap individu berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing (Individual deferences). Identifikasi dan pemahaman terhadap diri sendiri akan membantu dalam meningkatkan kualitas diri. Pendidikan haruslah mengajarkan kepada peserta didik agar “tahu diri” sehingga sadar atas kekurangan dan kemampuannya sendiri. Selain itu menjadi diri sendiri diartikan juga sebagai proses diri untuk belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, yang sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri baik untuk diri sendiri maupun di masyarakat (Rahbini, 2007).

d. Learning to live together (Belajar hidup bersama/bermasyarakat)

Salah satu dari tugas pendidikan adalah untuk mengajar para murid dan para siswa tentang keanekaragaman manusia dan untuk menanamkan pada mereka suatu kesadaran persamaan dan saling ketergantungan dari semua orang-orang (Delors, 2005). Dengan kata lain siswa dibangun kesadaran adanya pluralisme dan menerima kenyataan banyaknya perbedaan dan latar belakang,tradisi, sejarah, budaya dan nilai-nilai masing-masing individu (Delors,1992).

Lebih dari itu, apakah pendidikan disajikan oleh keluarga, masyarakat atau sekolah, anak-anak harus diajar untuk memahami reaksi orang lain dengan memperhatikan berbagai hal dari segi pandangan mereka (empati). Dimana jika sikap empati ini didukung sekolah maka hal ini mempunyai suatu efek positif pada perilaku sosial pemuda. Pemahaman terhadap pluralisme menyadarkan kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan semacamnya. Abad 21 adalah abad global sekaligus plural.

Dalam masyarakat Indonesia misalnya dikenal istilah SARA yang pada dasarnya netral dan banyak mengandung potensi positif. Dunia realitas memang terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama, budaya dan bermacam-macam perbedaan. Sikap eksklusivisme yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat terjadi. Kenyataan ini semakin konkrit dengan adanya globalisasi yang dikuasai oleh alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali tak bisa dihindari. Oleh karena itu cara yang harus ditempuh adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan bersama-sama tanpa harus uniformity (serba satu); dan saling memanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang dalam kehidupan bersama (Azizy,2002).

Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan

2. Hubungan

Empat pilar tersebut merupakan pilar-pilar belajar yang akan menjadi acuan bagi sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-membelajarkan yang akan bermuara pada hasil belajar aktual yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Hasil belajar aktual merupakan akumulasi kemampuan konkrit dan abstrak untuk memecahkan persoalan hidup. Oleh karena itu empat pilar belajar tersebut tidak bisa dilihat sebagai kwartetomis empat kemampuan yang terpisah satu dengan yang lain.

Learning to know menjadi basis bagi learning to do, learning to do merupakan basis bagi to be, dan to be merupakan basis untuk learning to live together, know (tahu), do (dapat), be (mandiri), live together (kemampuan bekerjasama) merupakan satu kesatuan dan prasarat bagi individu untuk meningkatkan kualitas kehidupan (Nugroho,2004). Hubungan antar pilar tersebut dapat dijelaskan bahwa tidak semua siswa yang tahu dapat melakukan dalam arti memiliki ketrampilan; tetapi yang dapat melakukan pasti memiliki pengetahuan sebagai dasar teoritik. Dan tidak semua yang dapat melakukan, memiliki kemandirian, karena untuk menjadi mandiri memerlukan syarat-syarat lain. Selanjutnya tidak semua yang mandiri, mampu bekerjasama dengan orang lain karena kemampuan bekerjasama dan yang mampu bekerjasama pasti telah memiliki basis kemandirian, keterampilan dan pengetahuan yang menuntut syarat-syarat lain yang terkait dengan aspek psikologis yang cukup memadai.

Oleh karena itu, pengetahuan menjadi basis awal dari proses pemilikan keterampilan, pengetahuan dan keterampilan menjadi dasar awal kemandirian; dan pengetahuan, keterampilan, kemandirian menjadi basis dan awal dari kemampuan melakukan kerjasama dengan orang lain. Akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan bekerjasama tersebut merupakan modalitas bagi kemampuan untuk memecahkan masalah/problem solving (Nugroho,2004).

3. Implementasi Dalam KTSP

Pesan yang ingin disampaikan dalam empat pilar UNESCO yang juga disebut sebagai rekomendasi Delors adalah pertumbuhan pengetahuan yang demikian masih di abad pertengahan ini tak akan mampu lagi dikejar institusi pendidikan yang bertumpu pada paradigma “pembekalan” banyak pengetahuan. Asumsi bahwa pendidikan yang membekali banyak pengetahuan menjamin siswa kelak akan berhasil dalam dalam hidupnya tak memadai lagi.

Berkaca dari rekomendasi delors tersebut maka sekarang ini di Indonesia muncul sebuah kurikulum yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara garis besar KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan sauan pendidikan, potensi sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007:8). KTSP membuka ruang partisipasi kreatif guru dan pengelola sekolah dalam penjabaran rencana, metode, dan alat-alat pengajaran. Standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar kurikulum masih ditentukan pemerintah pusat, tetapi kontekstualisasi detailnya diserhakan kepada pengelola sekolah dan guru. Dengan diversifikasi ini pengelola sekolah dan guru dapat secara kreatif dan kontekstual mempraktikkan konsepsi ideal mereka tentang proses pembelajaran (Suwigyo, 2007). Hal menarik dari KTSP ini adalah proses belajar yang menekankan suasana yang interaktif, inspiratif, menantang dan memotivasi peserta didik, memberi ruang prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat, minat, fisik dan perkembangan psikologis peserta didik (PP No.19/2005 Pasal 19 ayat 1 tentang Standar Pendidikan Nasional. Dengan demikian jelas ini merupakan pengejawantahan dari empat pilar belajar.

Menurut pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta Prof Dr Wuryadi dan Prof Dr Sunardi, Guru Besar FKIP UNS Surakarta mengemukakan bahwa KTSP itu dekat dengan pendidikan progresif. Konsep itu menekankan demokrasi, pentingnya kegiatan kreatif dan bermakna, kebutuhan riil peserta didik, dan kaitan antara sekolah dan masyarakat. Dua implikasi dari pendidikan progresif, antara lain, penekanan pada keterampilan proses belajar melalui kegiatan kreatif bermakna dan pengakuan pada perbedaan individu ( Kompas, 2006).

Beberapa hal berkaitan dengan implementasi empat pilar pendidikan dalam Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan yaitu konsep Learning to know yang dimaksud Delors bukan sekedar jenis belajar memperoleh informasi yang sudah dimodifikasi atau dirinci, tetapi menguasai instrumen-instrumen pengetahuan itu sendiri. Dalam KTSP instrumen-instrumen pengetahuan ini memampukan orang untuk memahami sedikitnya tentang lingkungannya untuk dapat hidup dengan harkat, untuk mengembangkan kecakapan kerja, dan untuk berkomunikasi selain mendasari kegemaran untuk memahami, mengetahui, dam menemukan dalam kerangka membangun pengetahuan. Penting bagi semua anak dimanapun untuk mampu mengembangkan strategi belajar dan memperoleh pengetahuan tentang metode ilmiah. Dalam pandangan masa depan, pendidikan tak memadai lagi untuk menyediakan seonggok pengetahuan bagi anak untuk digunakan sebagai bekal hidup untuk selanjutnya.

Kedua, learning to do, jenis belajar ini tidak sesederhana konsep tradisional dengan mengajar anak-anak mempraktikan apa yang sudah dipelajari dalam rangka mempersiapkan seseorang untuk tugas praktis pembuatan sesuatu, tetapi lebih merupakan representasi belajar kecakapan hidup, suatu kecakapan yang memadukan sejumlah unsure keterampilan kognitif, keterampilan teknilkal (praktikal), dan sikap (keterampilan social/humaniora). Dalam KTSP adanya pendidikan kecakapan hidup (life skills) maupun pengembangan diri memfasilitasi peserta didik untuk belajar dan mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.

Ketiga, learning to life together merupakan semangat yang dibangun dalam belajar adalah kecakapan unjuk kerja yang dilandasi perdamaian, kebersamaan, keselarasan, dan keserasian berkehidupan melalui usaha-usaha atau kerja kolaboratif guna mencapai tujuan bersama, bukan membangun semangat kompetisi. Dengan adanya pengurangan jam pelajaran dalam KTSP maka anak bisa lebih leluasa interaksi dan berkomunikasi serta mengenal orang lain. Dengan kata lain siswa tidak terkungkung hanya dalam proses tatap muka namun siswa dapat lebih mengenal perbedaan-perbedaan pribadi antara satu dengan yang lain. Hal ini memungkinkan siswa memahami tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima akan lebih banyak dikembangkan dalam suasana diluar kelas. Menurut Suwigyo (2007), KTSP sangat berpeluang untuk mewujudkan kurikulum sekolah yang beridentitas kerakyatan. Artinya kurikulum benar-benar berpihak kepada khalayak dalam hal ini anak didik dalam konteks sosial budaya sehari-hari.

Dan terakhir adalah bahwa ketiga pilar itu yang akan memberi kontribusi terhadap learning to be (belajar menjadi seseorang) merupakan tujuan akhir dari proses belajar. Jenis belajar ini bertumpu pada asumsi, manusia belajar bagi dirinya sendiri untuk pemenuhan perkembangan seutuhnya tiap manusia-jiwa dan raga-inteligensi, kepekaan, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual. Dalam KTSP adanya muatan kurikulum lokal, pengembangan diri dan pendidikan kecakapan hidup dapat sebagai jabaran dari 4 pilar pendidikan yang diharapkan siswa mengembangkan segala potensi serta kemampuan yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian diatas maka pada hakikatnya pendidikan apa yang dapat melahirkan manusia Indonesia yang mampu mendukung terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas? Mencuplik dari pernyataan Raka Joni (2005), mengemukakan bahwa pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi. Selain itu juga untuk membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan SDM yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi bukan saja di arena lokal dan nasional melainkan juga di arena regional dan global. Dari pernyataan tersebut jelaslah suatu penyelenggaraan sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan terlaksananya empat pilar pendidikan tersebut. Dengan demikan amanat dari Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”

F. Sikap Guru dalam Pembelajaran

Proses pembelajaran dalam dunia pendidikan akan berlangsung efektif, jika komponen-komponen penyusunnya dapat berinteraksi sebagaimana mestinya. Pendidik sebagai komponen penting dalam sebuah pembalajaran terkadang menimbulkan sebuah interpretasi yang keliru, di mana pendidik masih melakoni perananan sebagai pentrasfer informasi semata. Profesi pendidik merupakan suatu tumpuan atas kemajuan dan kemartabatan bangsa dengan melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara kognitif dan secara apektif (mentalitas). Kompleksitas peran guru membuat pentingnya sebuah kemampuan yang seimbang baik dari segi performance dan penguasaan metode dan materi dengan sebaik-baiknya. Tingkat kemampuan yang cukup mendalam akan berbagai keterampilan membuat pendidik terkadang tidak sanggup menjalankan profesi tersebut dengan maksimal, hal ini yang akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam ketercapain tujuan pembelajaran (Nasution, 2008).

Rendahnya ‘modal’ dalam mengemban kewajiban sebagai pendidik terkadang menimbulkan fenomena, di mana munculnya ketegangan dan frustasi dalam menghadapi anak didik. Karakteristik guru menjadi penting pula untuk menjaga satabilitas pembelajaran, sehingga mampu memberlakukan sebuah sikap/keputusan yang konstruktif dalam kondisi segawat apapun demi tercapainya pola belajar anak didik yang kondusif. Tak jarang diperlukan sebuah sikap pendidik yang lebih ‘keras’ dalam kondisi yang cenderung mengarah pada sadisme anak didik dalam interaksi sesamanya.

Kita di Indonesia memberikan perhatian utama kepada perkembangan kognitif, termasuk perkembangan intelektual anak-anak walaupun kita usahakan perkembangan yang harmonis. Perkembangan pribadi anak itu sendiri kurang mendapat perhatian, namun cenderung tujuan yang ingin di capai adalah peserta didik/anak didik lulus dalam ujian dan kelak mendapat tempat di perguruan tinggi yang baik. Perkembangan pribadi anak seperti dalam bidang sosial, emosional dan moral kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan perkembangan intelektual.

Ketercapaian manusia Indonesia madani akhir-akhir ini membuat pendidikan harus menjalankan pembelajaran hendaknya jangan melupakan kedua aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai mahluk sosial. Yakni, penguasaan bahan pelajaran (perkembangan intelektual) dan penguasaan pribadi diri anak (perkembangan anak sebagai pribadi yang bulat). Anak didik bukanlah sebuah bejana/botol yang serba sama yang harus kita isi dengan minuman atau zat lain, melainkan merupakan makhluk hidup yang dapat bereaksi positif maupun negatif terhadap perangsang-perangsang yang diterimanya (Azra, 2006).

Peran pendidik yang paling utama adalah memimpin peserta didik/anak didik, membawa mereka kearah tujuan yang tegas. Pendidik itu, disamping orang tua, harus menjadi model atau suri teladan bagi anak didiknya. Sehingga anak medapatkan rasa keamanan dengan adanya model itu dan rela menerima petunjuk maupun teguran bahkan hukuman. Hanya dengan cara demikian anak dapat belajar, memperturut anak didik dalam segala keinginannya bukan mendidik. Anak akan sadar mengenai kekurangannya dalam banyak hal dan merasa kecewa bila mendapat bimbingan dari gurunya.

Menurut Nasution (2008) bahwa pendidik harus bersikap sentimental yang berusaha agar belajar menjadi kegiatan yang menggembirakan yang dilakukan tanpa jerih payah. Dalam usaha untuk menghormati pribadi anak, menjauhkannya dari frustasi dan konflik, maka dicarilah usaha agar proses pembelajaran yang kita laksanakan menyenangkan dan mudah dilaksanakan. Tentu saja tidak ada masalah bila pembelajaran dilaksanakan dengan gembira, namun ini tidak berarti bahwa anak didik harus dijauhi dari kesukaran.

G. Pembelajaran PAKIEM

Pendidikan Nasional yang dilandasi dengan falsafah pancasila mementingkan adanya sebuah pendidikan yang mampu membentuk generasi bangsa yang berbudaya dan berakhlak mulia. Sebagaimana yang tercantum dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana tujuan pendidikan diarahkan kepada harapan falsafah pancasila. Perkembangan ilmu dan teknologi yang ikut menentukan arah pembelajaran dalam dunia pendidikan dan memunculkan adanya reposisi paradigma pembelajaran kearah yang lebih konstruktivistik. Dengan tujuan mengakomodir prinsip manusia sebagai mahluk sosial yang ‘merdeka’. Reposisi paradigma pembelajaran memberikan kontribusi pada peran guru untuk mampu memanfaatkan multi pendekatan dan metode dalam proses pembelajaran. Demi mengakomodir pembelajaran yang sesuai dengan paradigma pembelajaran tersebut maka penting adanya pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan (PAKIEM).

1. Konsep dasar PAKIEM

Intisari dari sebuah pendidikan adalah adanya suatu proses pembelajaran, sehingga tempat yang pasti untuk menemukan pemaknaan pendidikan adalah dalam bentuk “pemaknaa aktif” yang beragam. Dengan menempatkan peserta didik/anak didik dalam kerangka kerja suatu masalah yang sebenarnya, dan dengan menempatkan tanggung jawab untuk suatu solusi atas peserta didik/anak didik, kita memberikan pembelajaran yang penuh makna dan pengaruhnya akan bisa segera dirasakan. Syarat yang paling sasat adalah adanya sebuah masalah “yang benar-benar masalah” dan peserta didik tidak bisa dipaksakan memecahkan masalah mereka. (Boerre, 2008).

Setiap orang bersifat unik, berbeda dengan orang lain. Peserta didik yang belajar juga demikian. Mereka memiliki variasi pada gaya belajar, kecepatan belajar, pusat perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan siswa/mahasiswa selama proses belajar mengajar mungkin akan berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi perhatian pada keragaman karakteristik pebelajar itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan dilakukan seperti yang inginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang dinginkan oleh peserta didik..

Pada strategi pembelajaran inovatif pendidik tradisional dan peran peserta didik diubah, tanggungjawab peserta didik untuk belajar harus ditingkatkan, memberi mereka motivasi dan arahan untuk menyelesaikan program belajarnya dan menempatkan mereka pada pola tertentu agar mereka sukses sebagai pebelajar sepanjang hayat. Pada pembelajaran yang inovatif itu, pendidik akan berperan sebagai sumber belajar, tutor, evaluator, pembimbing dan memberi dukungan dalam belajar peserta didik. Prinsip yang mendasari strategi pembelajaran inovatif antara lain: (a) pemahaman dibangun melalui pengalaman, (b) pengertian diciptakan dari usaha untuk menjawab pertanyaan sendiri dan memecahkan masalah sendiri, (c) kita seharusnya mengembangkan instink alami siswa dalam melakukan penyelidikan dan berkreasi; (d) strategi berpusat pada siswa akan membangun keterampilan berpikir kritis, penalaran dan selanjutnya kreativitas dan ketaktergantungan. Salah satu contoh pembelajaran inovatif adalah PAKIEM.

PAKIEM adalah sebuah pendekatan yang memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan pemahaman dengan penekanan belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif. Dari uraian diatas pembelajaran PAKIEM diharapkan adanya keaktifan dan kekreatifan peserta didik, demikian juga guru dituntut aktif dan kreatif. Oleh karena itu agar pembelajaran berhasil, guru dituntut secara aktif dan kreatif menuangkan semua gagasan dan kemampuannya dalan menyusun perencanaan pembelajaran yang baik, melaksanakan dengan baik dan dinilai dengan baik pula.

Belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antaraa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam proses belajar mengajar keaktifan siswa berbeda-beda, Mc Keachie dalam tulisannya yang berjudul “Student-centered versus instructor-centered Instruction” mengemukakan dua kutub gaya mengajar, ialah “pengajaran berpusat pada siswa dan pengajaran berpusat pada guru” disini dia menekankan bahwa perbedaan gaya mengajar dengan perbedaan tekanan. Disatu fihak terdapat gaya yang lebih menekankan pada keaktifan guru dan difihak lain ada yang menekankan keaktifan siswa dan sebagian besar terletak di antaranya. Selanjutnya Mel Silberman dalam bukunya “Active Learning”, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, 2002 mengembangkan pernyataan Confusius menjadi paham Belajar Aktif adalah Apa yang saya dengar saya lupa, Apa yang saya lihat saya ingat sedikit, Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti, Apa yang saya lihat, dengar, diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan keterampilan, Apa yang saya ajarkan saya kuasai.

Keaktifan siswa tidak saja dalam menerima informasi tetapi juga dalam memproses informasi tersebut secara efektif, otak membantu melaksanakan refleksi baik secara eksternal maupun internal. Belajar secara pasif tidak “hidup”, karena siswa mengalami proses tanpa rasa ingin tahu, tanpa pertanyaan dan tanpa daya tarik pada hasil, sedang secara aktif siswa dituntut mencari sesuatu sehingga dalam pembelajaran seluruh potensi siswa akan terlibat secara optimal. Pendekatan ini memberi kebebasan siswa dalam memperoleh dan menentukan pengalaman belajarnya dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Dengan belajar aktif kompetensi yang dicapai terkesan luas dan mendalam sehingga tidak mudah dilupakan, karena mereka mengkonstruksikan sendiri pengetahuan yang dipelajari dengan bimbingan dan arahan dari guru. Sedangkan kelemahannya bila penggunaan alokasi waktu kurang efisien dan guru tidak segera dapat mengetahui ketercapaian kompetensi yang diharapkan yang terjabar dalam silabus, sulit untuk dipenuhi sesuai waktu yang ditetapkan. Karena kemajuan belajar siswa amat tergantung kemampuannya, apalagi bila siswa memiliki kemampuan yang heterogen.

Alasan Penerapan PAKIEM dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Terdapat dua alasan pembelajaran PAKIEM diterapkan di Indonesia yaitu:
PAKIEM memungkinkan peserta didik dan guru sama-sama aktif terlibat dalam pembelajaran. Yang terjadi dalam pembelajaran konvensional menunjukkan bahwa guru yang aktif, sementara siswanya yang pasif, sehingga pembelajaran menjemukan, tidak menarik dan tidak menyenagkan.

b. PAKIEM memungkinkan peserta didik dan guru sama-sama kreatif. Guru berupaya kreatif dengan mencoba berbagai cara untuk melibatkan peserta didik dalam pembelajaran. Peserta didik juga dituntut kreatif pula dalam berinteraksi dengan sesama teman, guru maupu berbagai sumber belajar sehingga akhirnya hasil belajar dapat diperoleh sesuai dengan kompetensi yang diharapkan.

2. Ciri-Ciri/Karakteristik PAKIEM

Istilah pendekatan PAKIEM yang dipopulerkan oleh Direktorat Pendidikan Dasar Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan kualitas guru di Sekolah merupakan akronim (singkatan) dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pembelajaran aktif menunjuk pada prakarsa siswa dalam berperan untuk melakukan serangkaian kegiatan yang diciptakan oleh guru mulai dari awal hingga berakhirnya pelajaran. Hal yang demikian memang sudah seharusnya, karena kesuksesan dalam belajar sepenuhnya menjadi tanggung-jawab siswa, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan pemimpin selama siswa belajar di sekolah. Di samping itu aktivitas belajar menuntut adanya usaha yang penuh kehati-hatian, telitian dan ketekunan. Usaha ini akan terwujud apabila siswa mau aktif secara bertanggung-jawab demi keberhasilannya.

Pembelajaran kreatif menunjuk pada kreativitas dan inovasi berpikir yang diupayakan siswa dalam menyatu-kaitkan perolehannya selama belajar menjadi sesuatu yang berarti. Misal, siswa memperoleh pengetahuan tentang sepatu dan roda, kemudian disatu-kaitkan secara kreatif menjadi sepatu roda. Hal ini dapat dikategorikan sebagai model pembelajaran yang menurut Ausubel diistilahkan dengan belajar bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran efektif menunjuk pada kualitas hasil yang telah diupayakan oleh siswa dalam belajarnya. Efektivitas akan hasil belajar di sini amat dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kadar keaktifan dan kreativitas siswa selama belajar di sekolah dan tingdak-lanjutnya di luar sekolah. Di samping itu juga dipengaruhi oleh kualitas bahan pelajaran yang menjadi masukannya.

Pembelajaran yang menyenangkan menunjuk pada kondisi yang dapat diciptakan oleh guru selama penyajian bahan pelajaran. Kondisi ini amat berpengaruh terhadap kadar keatifan, kreativitas dan inovatif siswa dalam belajar yang pada gilirannya akan dapat membuahkan hasil belajar yang berkualitas. Seberapa menyenangkannya suatu kondisi belajar (kondisi yang kondusif) amat tergantung pada guru dalam memilih sekaligus menetakpan strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan tercapainya suatu tujuan belajar. Pada strategi yang telah ditetapkan akan nampak serangkaian metode dan media yang dapat dipergunakan untuk menyajikan bahan pelajaran kepada siswa. Strategi, metode dan media yang telah ditetapkan akan memcerminkan suatu pendekatan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya.

PAKIEM merupakan pembelajaran yang tidak hanya terpaku menggunakan satu pendekatan saja, tetapi dengan menggunakan berbagai pendekatan dan model. Berikut adalah ciri-ciri langkah –langkah PAKIEM dalam proses pembelajaran di kelas.

Kemampuan Guru

Kegiatan Belajar Mengajar

Guru merancang dan mengelola KBM yang mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran

Guru melaksanakan KBM dalam kegiatan yang beragam, misalnya:

  • Percobaan
  • Diskusi kelompok
  • Memecahkan masalah
  • Mencari informasi
  • Menulis laporan/cerita/puisi
  • Berkunjung keluar kelas

Guru menggunakan alat bantu dan sumber yang beragam.

Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misalnya:

  • Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
  • Gambar
  • Studi kasus
  • Nara sumber
  • Lingkungan

Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan

Siswa:

  • Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
  • Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
  • Menarik kesimpulan
  • Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri.
  • Menulis laporan hasil karya lain dengan kata-kata sendiri.

Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan

Melalui:

  • Diskusi
  • Lebih banyak pertanyaan terbuka
  • Hasil karya yang merupakan anak sendiri

Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa

· Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)

· Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.

· Siswa diberi tugas perbaikan atau pengayaan.

Guru mengaitkan KBM dengan pengalaman siswa sehari-hari.

· Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.

· Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari

Menilai KBM dan kemajuan belajar siswa secara terus-menerus

· Guru memantau kerja siswa.

· Guru memberikan umpan balik.

Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melaksanakan PAKIEM adalah sebagai berikut:

  1. Memahami sifat yang dimiliki siswa. Pada dasarnya anak memiliki sifat ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak orang indonesia, atau anak bukan indonesia, selama mereka normal terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi perkembangan sikap/berfikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi perkembangan sifat tersebut. Suasana pembelajaran yang ditunjukkan dengan guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan.
  2. Mengenal siswa secara perorangan. Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memilki kemampuan yang berbeda. Dalam pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan perbedaan individu perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua siswa dalam kelas tidak perlu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Siswa yang memilki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga anak tersebut belajar secara optimal.
  3. Mengenal perilaku siswa dalam pengorganisasian belajar. Sebagai makhluk sosial, anak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorgansasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelasaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
  4. Mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah. Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal tersebut memerlukan kemampuan berfikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berfikir tersebut, kretis dan kreatif, berasal dari ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan pertanyaan yang dimulai dari kata-kata ”apa yang terjadi jika ….” lebih baik dari pada yang dimulai dengan kata-kata ”apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup hanya ada satu jawaban yang benar.
  5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik. Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKIEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam KBM karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
  6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar siswa. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai obyek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat siswa merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa keruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemenfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah ketrampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, klarifikasikan, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.

3. Prinsip PAKIEM

Terdapat empat prinsip dalam Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan yaitu:

a. Mengalami, Dalam hal ini peserta didik mengalami secara langsung dengan memanfaatkan banyak indera, yaitu dengan melakukan: pengamatan, percobaan, penyelidikan, wawancara. Jadi peserta didik belajar banyak melalui berbuat.

b. Interaksi, Dalam hal ini interaksi antara peserta didik itu sendiri, maupun dengan guru, baik melalui diskusi, tanya jawab, atau bermain peran harus selalu terjaga, karena dengan interaksi tersebut pembelajaran menjadi lebih hidup dan menarik.

c. Komunikasi, Dalam pembelajaran komunikasi perlu diupayakan, karena komunikasi adalah cara kita menyampaikan apa yang kita ketahui. Interaksi tidak cukup jika tidak terjadi komunikasi, bahkan interaksi menjadi lebih bermakna jika interaksi itu dikomunikasikan.

d. Refleksi, Refleksi merupakan hal penting lainnya agar pembelajaran bermakna. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya refleksi dari peserta didik ketika mereka mempelajari sesuatu. Refleksi artinya agar peserta didik memikirkan kembali apa yang diperbuat atau dipikirkan. Dengan refleksi kita dapat menilai efektif atau tidaknya pembelajaran. Refleksi guru dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya menyeluruh, jangan sampai pembelajaran menyenangkan, namun tingkat subtansi materinya masih rendah atau belum tercapai sesuai yang kita harapkan.

Tidak ada komentar: