Jumat, 12 Desember 2008

artikel pembelajaran

NATION AND CHARACTER BUILDING1

Oleh : Agus Muliadi2

Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Pendidikan sebagai salah satu sarana yang strategis dalam perkembangan sumber daya manusia Bangsa, sehingga pendidikan dalam proses dan tujuannya ditetapkan dalam regulasi hukum yang khusus yaitu berbentuk Undang – Undang. Fungsi pendidikan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Menurut Raka Joni (2005), mengemukakan bahwa pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi. Selain itu juga untuk membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan Sumber Daya Manusia yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi bukan saja di arena lokal dan nasional melainkan juga di arena regional dan global.

Peserta didik dan pendidik adalah tokoh sentral dalam dunia pendidikan. Artinya, maju-mundurnya dunia pendidikan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana kondisi dan kualitas dari peserta didik dan pendidiknya. Untuk itu, pembicaraan dan pembuatan kebijakan mengenai pendidikan haruslah melibatkan dan menempatkan subjek pendidikan ini dalam porsi yang sepantasnya. Jangan sampai subjek pendidikan, yaitu peserta didik dan pendidik justru dijadikan objek, seperti yang kerap terjadi selama ini. Dengan demikian, diperlukan suatu usaha kolaboratif berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka agar menjadi lebih demokratis.

Pendidik merupakan salah satu komponen pembelajaran yang memiliki peran sangat penting demi mencapai ketuntasan dan pembentukan moral peserta didik. Realita sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh adanya langkah praktis pembelajaran yang menjadikan guru menjadi satu-satunya sumber belajar, sehingga pendidikan tidak pernah menghasilkan lulusan yang sesuai dengan standar kelulusan secara kognitif. Prefesionalisme pendidik harus menjadi sebuah prioritas utama untuk menjalankan pendidikan yang ideal sebagai sebuah sarana pembentukan mental dan moral bagi individu-individu, agar menjadi manusia yang berbudaya dan bermamfaat bagi Bangsa (Azra, 2006).

Sikap profesionalisme pendidik merupakan salah satu bagian yang fundamental dalam menjalankan sistem pendidikan yang dituntut tidak sekedar menjadi alat transfer ilmu tetapi juga sebagai sarana konstruktif mental warga Negara yang berbudaya. Pencapaian pendidikan Nasional yang masih jauh dari dari ketentuan standarisasi dalam perundang-undangan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global, hal itu terlihat dengan kelemahan baik secara kuatitatif maupun kualitatif. Kegagalan sistem pendidikan sebagai sarana pembentuk manusia Indonesia yang kompetitif bukan hanya di tinjau dari sudut kognitif saja tetapi kegagalan yang sangat fatal adalah gagal dalam pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Menurut Azara (2006) pendidikan Indonesia memiliki peran yang sangat berat, karena tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih luas lagi pembudayaan (enkulturisasi) yaitu pembentukan karakter dan watak warga Negara menuju rekonstruksi Negara dan Bangsa.

Sikap pendidik yang rekonstruktif telah penulis dapatkan pada dosen metologi penelitian di Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan yang akan mencetak tenaga pendidik mengalami krisis, bukan dalam hal akademis lulusan, tetapi menyangkut pembentukan mentalitas, moral dan etika mahasiswanya yang tidak terbentuk sesuai dengan amanat konstitusi sehingga terdapat permissivisme nilai dalam lingkungan perguruan tinggi tersebut (Navis, 1999). Perkuliahan di Pasca Sarjana penulis menemukan sosok dosen yang akan mampu melakukan reposisi paradigma pendidikan yang sedang dilanda krisis mentalitas dan moral peserta didiknya, beliau adalah Profesor Dr. Herawati Susilo dosen mata kuliah metologi pendidikan. Sikap rendah hati, menghargai orang lain dan terbuka, merupakan karakteristik yang selalu implisit dalam cara pembelajaran beliau di kelas, yang tidak luput mendapatkan apresiasi yang sangat positif dari penulis dan teman-teman. Interaksi pembelajaran dengan figur pendidik yang seperti itu secara tidak langsung telah mengembalikan penulis untuk berpikir kembali (flashback) kepada fitrah penciptaan manusia yang sebenarnya, dengan pembentukan pola pikir yang kritis dan berbudaya menuju masyarakat madani.

Perkuliahan mata kuliah metologi penelitian pada pertemuan pertama telah memperlihatkan peran pendidikan dalam mempersiapkan anak bangsa baik secara individual maupun sosial untuk memiliki kemampuan, keterampilan, etos dan tanggung jawab serta kejujuran untuk berpartisipasi dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani. Pemberian tes awal (pretest) sebelum memulai perkuliahan merupakan langkah untuk mendapatkan gambaran sejauh mana kemampuan dasar (basic competent) untuk mengikuti perkuliahan metodologi penelitian, terkait dengan penentuan materi demi tercapainya efektifitas pembelajaran. Langkah itu juga sudah memberikan sebuah kesempatan kepada penulis dan teman-teman untuk menarik sebuah kesimpulan tentang karakteristik pebelajar dari perspektif kualitas perseorangan, dalam hal ini adalah kemampuan awal (Dwiyogo, 2008).

Tiap individu berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing (Individual deferences). Identifikasi dan pemahaman terhadap diri sendiri akan membantu dalam meningkatkan kualitas diri. Pendidikan menurut penulis haruslah mengajarkan kepada peserta didik agar “tahu diri” sehingga sadar atas kekurangan dan kemampuannya sendiri. Selain itu menjadi diri sendiri diartikan juga sebagai proses diri untuk belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, yang sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri baik untuk diri sendiri maupun di masyarakat (Rahbini, 2007).

Tingkat heterogenitas suku dan agama teman-teman penulis dalam kelas masih menjadi sebuah batasan sosial dalam interaksi di kelas, iklim perbedaan latar belakang itu seharusnya dijadikan proses pembelajaran yang cukup efektif untuk menyadari makna Bhineka Tunggal Ika untuk memperkuat wawasan nusantara, yang sudah dianggap sebagai sesuatu yang konvensional dalam pembelajaran di dunia pendidikan kita. Sejauh mana sikap praktis kita dalam mempertahankan integrasi bangsa sebagai sektor makro dapat diukur melalui sejauh mana kemampuan kita untuk membentuk sikap persatuan dan kesatuan dalam sektor mikro (kelas) sekarang. Pendidikan sebagai sarana pembudayaan (enkulturisasi) harus mampu memecahkan masalah yang berkembang sekarang yaitu “kelatahan sosial” seperti tuntutan demokrasi yang diartikan kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa ada kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, dan hak asasi manusia yang mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajibannya (Azra, 2006). Pendidikan adalah sarana untuk mengajar para murid dan para siswa tentang keanekaragaman manusia dan untuk menanamkan pada mereka suatu kesadaran persamaan dan saling ketergantungan dari semua orang-orang (Delors, 2005). Dengan kata lain siswa dibangun kesadaran adanya pluralisme dan menerima kenyataan banyaknya perbedaan dan latar belakang, tradisi, sejarah, budaya dan nilai-nilai masing-masing individu (Delors,1992).

Dalam masyarakat Indonesia misalnya dikenal istilah SARA yang pada dasarnya netral dan banyak mengandung potensi positif. Pembelajaran di dalam kelas penulis yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi sangatlah membutuhkan sikap pendidik yang rekonstruktif seperti Profesor Dr. Herawati Susilo untuk menumbuhkan pemahaman terhadap pluralisme yang akan menyadarkan kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan semacamnya, sebagaimana tuntutan abad 21 (global). Dunia realitas memang terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama, budaya dan bermacam-macam perbedaan. Sikap eksklusivisme yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat terjadi. Kenyataan ini semakin konkrit dengan adanya globalisasi yang dikuasai oleh alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali tak bisa dihindari. Oleh karena itu cara yang harus ditempuh adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan bersama-sama tanpa harus uniformity (serba satu); dan saling memanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang dalam kehidupan bersama (Azizy,2002).

Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Salah satu fungsi satuan pendidikan adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan

Tidak ada komentar: