Jumat, 12 Desember 2008

Pembelajaran sejati

PENTINGNYA PEMBELAJARAN SEJATI
Pendidikan merupakan Investasi. Hal ini sudah disadari Negara maju setelah masa Revolusi dunia di mana semua warga mempunyai hak yang sama dalam pendidikan dan pendidikan ditangani langsung oleh pemerintah sehingga membuka kesempatan bagi semua warga untuk memperoleh pendidikan. Jepang dengan Restorasi Meji sesudah Perang dunia II. Setelah perang tersebut, reformasi pendidikan diterapkan dan bertujuan untuk membangun masyarakat yang demokratis, meniru sistem pendidikan Amerika Serikat. Konstitusi baru Jepang menetapkan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan dasar pendidikan untuk menjalankan reformasi ini. Keberhasilan negara-negara tersebut dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tidak terlepas dari komitmen pemerintahnya sejak awal dan terus berkelanjutan. Contoh itu harus menjadi sebuah refrensi yang harus segera dijadikan sebuah bahan untuk melakukan reformasi dalam tubuh pendidikan nasional Indonesia.
Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Pendidikan sebagai salah satu sarana yang strategis dalam perkembangan sumber daya manusia Bangsa, sehingga pendidikan dalam proses dan tujuannya ditetapkan dalam regulasi hukum yang khusus yaitu berbentuk Undang – Undang. Fungsi pendidikan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu sebagai sarana untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Formulasi normatif dalam konstitusi tentang sistem pendidikan bangsa kita sangatlah bonafid dan penuh dengan kesempurnaan serta menyatakan secara jelas bahwa sudah berlandaskan pada falsafah pancasila dam UUD 1945, namun dalam langkah praktisnya sangatlah kontraproduktif. Realita sistem pendidikan Indonesia saat ini menjadi bukti bisu, di mana jika ditinjau dari falsafah, tujuan hingga metodoliginya pendidikan Nasional Indonesia sama sekali tidak mempunyai itu semua apalagi komitmen dari pemerintah, hasilnya pendidikan di Indonesia tidak terarah dan mudah rapuh. Tidak terarah, karena tidak mempunyai tujuan yang jelas. Realitas yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa orang mendapatkan pendidikan untuk sekolah bukan berpendidikan untuk mempertahankan hidup. Paradigma ini mendorong seorang anak terasing dari lingkungan sosialnya dan mebuat anak hanya dapat menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sudah diatur tidak menjadi seseorang yang kritis dan memecahkan persoalan dirinya dan masyarakatnya sesuai dengan lingkungan tempat dia berada.
Sistem pendidikan Indonesia tanpa tujuan dan tidak memperlihatkan secara praktis nilai-nilai falsafah bangsa dapat menjadikan pendidikan kita rapuh dan akan menghasilkan generasi-generasi yang semakin tidak percaya diri dan jauh dari nilai pancasila dalam kehidupannya. Rapuhnya sistem pendidikan Indonesia akan memberikan kontribusi negatif terhadap kepemimpinan bangsa yang cenderung membuat kebijakan berdasarkan kepentingan pragmatis pada masanya. Produktivitas sistem pendidikan secara eksplisit akan melahirkan generasi materialistis yang menjadikan materi menjadi komoditas dalam kehidupan berbangsa tanpa mempertimbangkan moralitas dan spiritualitas, fenomena itu akan menempatkan manusia layaknya cabai atau bawang di pasar yang diperjual belikan untuk kepentingan produksi.
Kehidupan bernegara yang semakin krisis mentalitas dan produktifitas berpikir manusianya demi ketercapaian tujuan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka dalam hal ini penting adanya peran dunia pendidikan sebagai sarana pembentukan manusia yang intelektual dan bermoral. Sistem Pendidikan di bawah payung hukum berbentuk Undang-Undang seharusnya diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Menurut Raka Joni (2005), mengemukakan bahwa pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi. Selain itu juga untuk membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan Sumber Daya Manusia yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi bukan saja di arena lokal dan nasional melainkan juga di arena regional dan global.
Sistem kepemerintahan selalu dipimpin oleh kaum intelektual yang merupakan hasil dari sistem pendidikan Nasional Indonesia, di mana kepemimpinannya selalu memperlihatkan berbagai polemik bangsa yang tidak terselesaikan olehnya termasuk juga polemik dalam tubuh pendidikan Nasional itu sendiri. Realita tersebut menjadi sebuah parameter yang menggambarkan betapa tidak berdayanya dunia pendidikan Indonesia untuk melahirkan generasi-generasi pemimpin bangsa ke depan yang mampu menjalankan roda kepemerintahan di bawah Pancasila dan UUD 1945. Polemik bangsa yang tidak berujung merupakan salah satu fenomena berbangsa yang kerap terjadi di seluruh dunia, tetapi hal itu tidaklah menjadi sebuah jawaban untuk membangunkan bangsa kita dari krisis multidimensi. Pendidikan sebagai sarana pembentukan ranah intelektualitas dan mentalitas anak bangsa memiliki peranan penting dalam hal itu, namun realita membuktikan bahwa ketidakberpihakan dan ketidak seriusan pemerintah dalam melakukan reformasi sistemik dunia pendidikan dipertontonkan dengan menjadikan pendidikan hanya sebatas agenda politik bukan menjadi isu politik yang harus diselesaikan dengan tuntas dan berkeadilan.
Kebutuhan yang bersifat pragmatis dan vital dalam keberlangsungan pembelajaran dalam dunia pendidikan pun tidak luput dari interfensi kebijakan yang kontraproduktif, sebagaimana dengan terjadinya bongkar pasang kurikulum baru yang sekedar saduran dari luar negeri tanpa ada pertimbangan rasionalisasinya dengan kondisi bangsa. Kebijakan pemerintah yang terkadang tanpa menjadikan berbagai kenyataan yang telah terjadi sebagai refrensinya maka tidak akan pernah mengubah pola pembelajaran pendidikan Indonesia, hal itu terlihat dengan tumbuh suburnya paradigma lama dalam proses pembelajaran. Dimana para pendidik beranggapan bahwa murid atau pelajar sudah belajar jika apa yang disampaikan guru di dalam kelas bisa disampaikan ulang oleh murid persis seperti apa yang diinginkan guru. Murid dianggap tidak belajar kalau tidak bisa menghafalkan apa yang sudah diajarkan guru kepadanya.
Hubungan guru dan siswa di kelas adalah guru mengajar dan siswa mendengar dan mencatat. Tidak pernah ada yang mengatakan bahwa guru belajar dari murid. Jika murid menjawab pertanyaan guru dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri dan isinya berbeda dari yang dikehendaki guru maka murid tersebut dianggap tidak belajar. Agar murid “belajar dengan benar” maka perlu bagi guru untuk menyampaikan (mengajarkan) semua yang “guru inginkan supaya diketahui murid” secara langsung. Menurut pemahaman di atas proses belajar dikontrol oleh guru. Apa yang dipelajari siswa dapat diatur dan dibentuk oleh guru. Guru (aktif) menyiarkan informasi dan murid (pasif) menyerap informasi tersebut. Akibatnya guru cenderung memaksa kehendaknya kepada murid dan murid harus mematuhinya. Sistem pembelajaran itulah yang menyebabkan dunia pendidikan hanya menghasilkan generasi “kacung” bukan generasi yang intelektual, kritis, dan bertanggung jawab serta konstruktif sehingga mampu membawa roda pemerintahan bangsa kedepan lebih baik.

Sistem pendidikan dengan pola pembelajaran yang penuh nuansa kediktatoran yang selama ini dijalankan dalam sistem pendidikan Nasional kerap berujung kepada tindakan imoralitas yang tidak menghargai makna kemerdekaan sebagai kebebasan jiwa yang beraturan. Pola pendidikan di mana murid diperlakukan sebagai obyek yang harus melakukan semua apa yang dikehendaki oleh guru sehingga menyebabkan Murid menjadi tertekan secara mentalitas. Suasana belajar di sekolah bagi sebagian besar murid menjadi pengalaman yang membangkitkan rasa cemas, tertekan dan tidak menyenangkan. Realita ini akan menjadikan generasi bangsa yang tidak jauh seperti robot-robot industri yang hanya dituntut mengerjakan pekerjaann yang bersifat teknis tanpa membutuhkan pemikiran konstrutif. Atas fenomena empiris dalam dunia pendidikan itu maka pendidikan harus dijalankan berdasarkan pokok-pokok pikiran dari aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam langkah praktis pembelajaran di dunia pendidikan Nasional. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong agar belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar, walaupun adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan upaya agar dunia pendidikan meliputi proses membimbing, mendidik dan mengajar untuk menghasilkan manusia Indonesia yang mampu berpikir konstruktif demi kemajuan bangsa.
Secara inplisit dan eksplisit dalam nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 mengatur makna pendidikan sebagai sarana pembentukan generasi bangsa dengan jiwa intelektualitas dan moralitas yang sejahtera serta berkeadilan sosial. Pendidikan dalam proses pembelajarannya diharapkan akan mampu membentuk paradigma berpikir manusia indonesia yang berbudi luhur sesuai dengan tuntutan pancasila. Harapan besar bangsa terhadap dunia pendidikan bukanlah sekedar sebagai sarana transfer ilmu, tetapi pendidikan nasional harus mampu menjalankan proses pembelajaran dengan memanusiakan manusia tanpa ada tekanan psikis di dalamnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara kalau pendidikan tidak boleh ada unsur paksaan (merdeka). Pendidikan Nasional belum memperlihatkan proses pembelajaran yang memerdekakan anak bangsa secara sepenuhnya melalui sistem yang diterapkan.

Kemerdekaan yang dimaksud Ki Hajar Dewantara bukan berarti liar tanpa aturan atau tidak mau diatur, tetapi berpikir merdeka dalam pengertian ini membuat manusia memiliki daya nalar yang kritis serta mampu mengekspresikan ide dan gagasannya dalam proses pembelajaran untuk menentukan pilihan hidupnya kedepan. Sistem pembelajaran yang dinyatakan belum sepenuhnya konstruktif merupakan sarana penekanan mentalitas anak bangsa telah menampakkan kontribusi negatif yang bersifat permanen dalam bentuk pola pikir dan budaya. Konteks globalisasi anak bangsa memiliki budaya dan pola pikir dalam melakukan pilihan untuk bersikap lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat oleh pancaindra bukan digerakkan daya nalar yang sehat, sehingga sikap yang ekspresikan bersifat sekedar pemenuhan akan kebutuhan kesenangan indrawi belaka. Media visualitas yang begitu dahsyat memberikan tontonan yang terkadang imoralitas kerap kali membuat mata kita tidak lagi awas sehingga akan menciptakan mentalitas konsumtif.
Mental tak produktif ini sekarang membudaya dalam sanubari publik bangsa ini yang telah melahirkan pemikiran dan budaya anak bangsa yang serba instan dan menghilangkan budaya berpikir merdeka. Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Kebijakan pendidikan pun terjebak pada budaya instan. Pendidikan seperti ini amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini.
Cita-cita pendidikan yang mencerdaskan rakyat yang berkeadilan hanyalah angan-angan saja. Untuk menjadikan bangsa ini cerdas diperlukan langkah praktis dalam bentuk kebijakan pendidikan yang bervisi jelas, yakni memanusiakan manusia dan menjadikannya sebagai pribadi merdeka dan trampil serta berjiwa konstruktif.
Sistem pendidikan Indonesia yang sudah terpolarisasi dengan metode pembelajaran yang selalu terpusat pada guru sejak bangsa kita merdeka hingga tahun 1994 yang kemudian pada tahun itu mulai dilakukan perubahan secara administratif, namun secara praktis metode pembelajaran lama tetap belangsung sampai sekarang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) belum mampu membawa bangsa kita untuk adaptif dan melakukan revolusi pendidikan secara praktis. Perkembangan IPTEK telah memunculkan banyak gambaran teoritis tentang efektifitas proses pembelajaran dalam dunia pendidikan, hasil penelitian Dryden dan Voss (1999) mengatakan bahwa belajar akan efektif jika suasana pembelajarannya menyenangkan. Seseorang yang secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya memerlukan dukungan suasana dan fasilitas belajar yang maksimal. Suasana yang menyenangkan dan tidak diikuti suasana tegang sangat baik untuk membangkitkan motivasi untuk belajar. Anak-anak pada dasarnya belajar paling efektif pada saat mereka sedang bermain atau melakukan sesuatu yang mengasyikkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kita belajar 10% dari yang kita baca, 20% dari yang kita dengar, 30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan dengar, 70% dari yang kita ucapkan, dan 90% dari yang kita ucapkan dan kerjakan (Dryden & Voss, 2000). Artinya belajar paling efektif jika dilakukan secara aktif oleh individu tersebut. Menurut Osborne (1985) sebelum belajar secara formal murid sudah memiliki pengetahuan tentang berbagai topik pembelajaran yang secara formal diajarkan guru di sekolah. Karena itu jangan kaget jika mereka sudah memiliki jawaban berdasarkan apa yang mereka ketahui dari pengalaman berinteraksi dengan alam dan orang dewasa terhadap setiap peristiwa yang mereka lihat dan alami. Murid juga bersikap seperti ilmuwan dewasa di mana mereka selalu menguji pengetahuan mereka dan mengubahnya jika mereka merasa pengetahuannya sudah tidak mampu menjawab permasalahan yang mereka hadapi. Oleh karena itu jangan heran jika anak-anak selalu banyak bertanya jika mereka menemui sesuatu yang mereka tidak bisa menjawabnya.
Menurut penelitian, anak-anak menjadi berminat untuk belajar jika topik yang dibahas sedapat mungkin dihubungkan dengan pengalaman mereka dan disesuaikan dengan alam berpikir mereka. Yang dimaksudkan adalah bahwa pokok bahasannya dikaitkan dengan pengalaman siswa sehari-hari dan disesuaikan dengan dunia mereka dan bukan dunia guru sebagai orang dewasa. Apa lagi jika disesuaikan dengan kebiasaan mereka dalam belajar. Mungkin ada anak yang tipe belajarnya dari sumber visual, auditorial, atau kinestetik. Proses pendidikan tersebut tidak lagi menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar di dalam kelas tetapi lebih kepada pembelajaran yang berpusat pada murid, di mana peran guru adalah memfasilitasi murid agar serba aktif belajar sendiri atau berkelompok, memotivasi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong mereka untuk perpikir dan berusaha mencari solusi dari permasalahan yang mereka hadapi secara mandiri. Guru perlu mengenal karakteristik belajar dan keunikan muridnya dalam belajar dan memanfaatkan itu untuk mendorong mereka mencapai terget belajar mereka secara maksimal. Guru melatih murid untuk mengembangkan kemampuan murid untuk belajar bagaimana belajar. Belajar adalah konstruksi pengetahuan yang secara aktif dibangun oleh murid dengan kreatifitas yang dimilikinya.

Pada momentum bangsa ini kehilangan daya kreatifitas karena miskin cita-cita dan gagasan, ternyata realita yang ada tidaklah separah itu, di mana dengan tidaklah berlakunya vonis yang mengeneralisasi tersebut di semua penjuru bangsa. Fenomena berbangsa yang penuh friksi-friksi tersebut dikarenakan adanya sistem bangsa yang selalu mengedepankan kepentingan sendiri tanpa ada sikap peduli kepada kebutuhan orang lain, tetapi fenomena-fenomena itu tidaklah bisa berlaku secara konprehensif di semua aspek. Hal itu terbukti dengan adanya realita yang memberikan harapan baru untuk kebangkitan bangsa melalui dunia pendidikan harus mulai dibuktikan dalam langkah praktis walaupun masih dalam sekala mikro yaitu dalam perbelajaran di kelas oleh guru yang berperan sebagai fasilitator dan motovator serta sangat peduli kepada kepentingan orang lain. Guru harus mampu memberikan motivasi kepada anak didik baik secara formal maupun nonformal dalam artian tidak terbatas pada ruang kelas saja. Realita praktis dalam pembelajaran seperti itu jika diberlakukan secara menyeluruh, maka mampu menepis adanya pandangan buruk masyarakat kepada dunia pendidikan belakang ini, pendidikan dianggap tidak lagi mampu melahirkan gagasan besar untuk merealisasikan cita-cita besar bangsa menuju masa depan Indonesia yang lebih beradab.
Bangsa ini terpuruk dalam hal nilai kemanusiaan yang beradab karena adanya generasi yang kurang memiliki cita rasa dan karsa dalam perilaku sehari-hari dan cenderung menjadi sosok instan yang cenderung berpikir konsumeristik. Aura batin anak bangsa termasuk penulis tak mampu menembus mata hati yang berkesadaran dalam menciptakan cara berpikir dan bertindak dalam kerangka kemanusiaan dan keadilan. Hal ini tak akan pernah menjadi gagasan dasar dalam membentuk perilaku bangsa selama dunia pendidikan di Indonesia hanya sebagai alat transfer ilmu buka sebagai wadah pembentukan karkater dan mentalitas anak bangsa yang berbudi luhur. Sikap Ibu Profesor Herawati dalam perkuliahan yang selalu menganggap diri masih kurang dan siap belajar kapanpun dan dengan siapapun merupakan sebuah sikap yang terpolarisasi berdasarkan prinsip dasar pendidikan yaitu melahirkan manusia untuk belajar berbagi kepada sesama. Prinsip itu dijabarkan dalam proses menjadi manusia merdeka.
Manusia yang berani meloncat dari pemenuhan kebutuhan akan dirinya sendiri menuju pada empati dan membantu serta memahami kebutuhan orang lain, sikap seperti itu persentasenya sudah semakin menurun dan hanya dimiliki oleh sekelompok kecil orang. Kepedulian tersebut sudah seharusnya menjadi bingkai proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di Indonesia, tetapi kenyataan masih kontras dengan hal tersebut. Hal kecil dalam proses pembelajaran seperti itu tidak begitu menjadi sebuah perhatian kebanyakan pendidik sehingga selalu menuai sebuah anggapan bahwa pendidikan hanya sekedar alat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja yang berujung pada pembedaan manusia berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Pendidikan Nasional yang masih bersifat konsumeristik tanpa mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap orang harus mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan berdasarkan dimensi sosial ekonomi sehingga dunia pendidikan penuh dengan jejak de-humanisasi.
Sistem pembelajaran tentunya selalu ada pendidik dan peserta didik, di mana pendidik sebagai fasilitator dan motivator untuk melahirkan generasi bangsa yang kreatif, inovatif dan produktif. Dalam dunia pendidikan paradigma lama tetap lestari yang menganggap pendidik adalah kaum intelektual yang selalu benar sehingga diagung-agungkan selayaknya dewa. Sikap tersebut jelas akan melegitimasi adanya perbedaan stratifikasi sosial yang mentradisi dalam kehidupan berbangsa. Tingkat kualifikasi akademis pendidik diatur dalam regulasi hukum yaitu di mana selalu adanya paradigma tentang keberadaan pendidik yang selalu lebih dalam UU no.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS tentang tenaga pendidik di setiap satuan pendidikan. Regulasi hukum itu hanyalah menjadi sebuah ketentuan administratif yang diharapkan akan mampu memaksimalkan proses pendidikan demi ketercapaian tujuan pendidikan, bukan di jadikan sebagai sebuah sekte dalam kehidupan sosial.

Fenomena stratifikasi sosial yang semakin marak justru akan terjadi tradisi pemetakan sosial yang sangat ekstrim antara kaum intelektual (berpendidikan) dengan yang tidak berpendidikan dan melahirkan adanya kesenjangan emosional (diskriminatif) dalam kehidupan sosial yang tidak jarang berujung konflik. Sistem pembelajaran pun tak luput dalam peran memediasi permasalahan sosial sehingga mampu untuk menghilangkan adanya kesenjangan emosional. Karakteristik guru sangat memiliki andil yang besar dalam peran pembelajaran untuk permasalahan tersebut sehingga pendidik yang mampu melakoni peran tersebut dengan baik, maka beliau merupakan pendidik yang sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan Nasional yang ideal menuju pendidikan yang tidak sekedar pembentukan sebagai sarana pembentukan intlektualitas tetapi yang terpenting adalah adanya pembentukan mentalitas dan moralitas manusia yang berbudaya.

Tidak ada komentar: