Jumat, 12 Desember 2008

Perempuan dan Sistem Patrilinial


PENDIDIKAN SOLUSI KEBANGKITAN PEREMPUAN DALAM SISTEM KEKERABATAN PATRILINIAL DI LOMBOK

Oleh : Agus Muliadi

Heterogenitas yang terdapat di Negara kita menunjukkan identitas kita yang terdiri dari berbagai rumpun adapt yang kemudian disatukan dengan bahasa persatuan bahasa Indonesia, berdasarkan pemikiran yang ada menunjukkan ada hubungan antara pola pengambilan keputusan menggambarkan bagaimana pola kekuasaan pada tempat tersebut. Pada prinsipnya pengambilan keputusan pada masyarakat maupun keluarga orang yang terlibat memiliki hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat, tetapi pada masyarakat Lombok khususnya Lombok timur memperlihatkan ketimpangan dalam hal tertsebut dimana keputusan dominant ditentukan oleh kaum laki-laki dan malah perempuan terkadang tidak dilibatkan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak pisahkan peran perempuan dengan laki-laki seharunya saling mengisi satu dengan yang lainya baik dari segi biologis, psikolgi sampai hal sosial budaya, namun di masyarakat Lombok timur masih ada ketidakadilah dimana perempuan yang lebih kepada sector domistik. Menurut hukum agama ada dua tafsir yang berbeda tentang hal ini dimana pada prinsipnya keduanya memberikan doktrin tentang peran wanita yang dipersempit.

Semua tradisi tersebut mulai kabur dari tatanan kehidupan dimana dikarenakan dengan pemerataan pendidikan tanpa melihat jenis kelamin, pembentukan mentalitas pada dunia pendidikan membuat kehidupan tidak bisa memandang sebelah mata mengenai peran wanita dalam beberapa bidang keperintahan dan hal itupun diikuti dengan adanya penetapan 30% porsi perempuan di legislatif. Sikap tradisi terhadap pola kehidupan meurpakan dampak dari kehilangan identitas masyarakat sasak Lombok selama 204 tahun dibawah jajahan dan dengan adanya pergeseran pada masa sekarang tidak menjadi dampak yang vital kepada adapt sasak Lombok selama tidak mengganggu pokok karakternya.

Kata-kata kunci: Komunikasi Perempuan, kekerabatan patrilinial, pendidikan.

Pendahuluan

Timbulnya adat dalam kebudayaan, adalah kebiasaan sehari-hari, menjadi tradisi atau teradat serta didukung oleh falsafah yang menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dengan lingkungan sekitarnya, ditambah lagi dengan masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh, tapi kemudian menjadi penunjang yang kuat dan menjadikan sendi dari adat, yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah juga yang dialami oleh masyarakat sasak di dalam perkembangannya. Heterogenitas suku bangsa yang ada di Indonesia diantaranya disebabkan oleh perbedaan letak geografis, sejarah dan latar belakang masyarakat. Hetrogenitas menunjukkan identitas sebagai suatu bangsa yang terdiri dari berbagai rumpun adat istiadat dan latar belakang. Kemunculannya memberi dampak kepada dinamika masyarakat indonesia dalam setiap aspek kehidupan. Dalam realitas kehidupan yang tak mungkin terelakkan dan sudah menjadi hukum alam bahwa seseorang selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dilakukan, mulai dari kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta banyak sekali masalah-masalah yang harus diputuskan. Idealnya sebuah keputusan adalah produk kesepakatan anggota keluarga yang didahului oleh musyawarah baik yang menyangkut materi keputusan maupun penentuan siapa yang dianggap paling berhak menentukan keputusan terakhir.

Pemikiran manusia yang dua langkah lebih maju dari waktu menjadi barometer perubahan pola pikir yang cepat sekali di masyarakat Lombok. Himpitan kondisi lingkungan yang menutut meraka harus menyesuaikan diri dengan arif tanpa menghilangkan identitas dirinya dan prinsip pokok budaya yang sudah mendarah daging. Pemerataan pendidikan yang mulai dirasakan diseluruh pelosok desa yang diikuti oleh semua anak baik perempuan maupun laki-laki, tidak jarang prestasi gemilang diukir di bangsa ini oleh anak-anak bangsa yang hidup dengan budaya tradisional yang penuh keterbatasan teknologi. Perkembangan pola pikir yang dinamis ditampilkan dengan adanya pembaharuan pola tradisi berpikirnya masyarakan sasak pedalaman di Lombok yang cenderung masih kental dengan pola pikir tradisi eksodus penjajahan. Pergeseran cara komunikasi baik dalam pengambilan keputusan menampilkan peralihan yang signifikan dimana mulai diakomodirnya pendapat perempuan dalam keluarga dan dalam keperitahan daerah maupun nasional, hal itu semua karena potensi kaum perempuan dalam hal berpikir ternyata tidak kalah dengan kaum laki-laki dan malah banyak yang lebih.

Artikel ini membahas tentang bagaimana pandangan umum tentang sistem kekerabatan patrilinial dan bagaimana pandangan agama tentang sistem kekerabatan patrilinial, bagaimana pandangan sosial budaya tentang sistem kekerabatan patrilinial, bagaimana padangan hukum tentang sistem kekerabatan patrilinial, bagaimana kenyatan sistem kekerabatan patrilinial dewasa ini, bagaimana tanggapan majelis adat sasak tentang kenyataan itu.

Bagaimana Pandangan Umum Tentang Sistem Kekerabatan Patrilinial?

Secara teoritis, berdasarkan beberapa tulisan dan pemikiran yang ada, terdapat hubungan antara pola pengambilan keputusan dan struktur kekuasaan dalam keluarga artinya pola pengambilan keputusan dalam keluarga menggambarkan bagaimana struktur atau pola kekuasaan dalam keluarga tersebut, kemudian konsep kekuasaan yang dianut dan pembagian kerja dalam keluarga membentuk sebuah pola pengambilan keputusan dalam keluarga yang bersangkutan (Blood dan Wolfe, 1960),

Pada prinsipnya dalam proses pengambilan keputusan pada masyarakat, orang-orang yang terlibat mempunyai hak sama untuk mengeluarkan pendapat sebagai masukan bagi keputusan yang akan ditetapkan dan selanjutnya ditaati dan dilaksanakan. Demikian halnya dalam keluarga, keputusan yang diambil seyogyanya mencerminkan kesepakatan suami-istri. Keseimbangan hak dalam menentukan keputusan antara suami dan istri merupakan salah satu jaminan bagi kemantapan hidup berkeluarga. Meskipun demikian, secara faktual masih sering didengar maupun dirasakan adanya ketimpangan peran antara suami dan istri dalam pengambilan keputusan baik diluar maupun di dalam rumah tangga atau bahkan tidak perlu diikutkan sama sekali, kemudian norma yang umumnya diakui menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kaum laki-laki

Pada masyarakat Lombok, khususnya masyarakat desa di Lombok Timur ada anggapan bahwa perempuan tidak terlalu berperan dalam mengambil keputusan baik di luar maupun di dalam rumah tangga atau bahkan tidak perlu diikuti sama sekali. Norma yang umumnya diakui manyatakan bahwa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kaum laki-laki (suami).Selain itu pola pengambilan keputusan dalam keluarga ada kalanya perempuan tidak diikutsertakan dan ini lazim, namun ada kalanya pula justru perempuanlah yang menentukan dalam pengambilan keputusan, walaupun masih dianggap sebagai peristiwa kasuistis dan kebetulan. Ada pula dalam hal-hal tertentu keputusan dalam keluarga dilakukan bersama-sama antara suami dan istri.

Lebih jauh Rosaldo (1974) mengatakan bahwa kebudayaan dan struktur sosial yang ada seringkali membedakan secara tegas dua sektor kegiatan masayarakat yaitu sektor publik dan sektor domestik. Sektor publik adalah domain laki-laki yakni di luar lingkungan rumah tangga sebagai pencari nafkah untuk keluarga, sedangkan sektor domestik adalah bidang untuk perempuan yakni lingkungan rumah tangga. Pembedaan kedua sektor ini tidak selalu sama di setiap masyarakat, tergantung kebudayaan dan struktur sosial yang melatarinya.

Struktur sosial adalah pola-pola tindakan dan interaksi atau pola hubungan sosial antara individu atau kelompok dalam suatu sistem sosial yang dikendalikan oleh nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat peranan laki-laki tidak dapat dipisahkan dari peranan perempuan keduanya justru saling melengkapi. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik biologis, psikologis, maupun sosial budaya, seharusnya dipandang sebagai perbedaan yang saling mengisi satu sama lain. Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkah laku yang berbeda agar dapat saling melengkapi perbedaan antara keduanya. Pembagian peran ini dapat berfungsi sebagai salah atau cara memecahkan persoalan yang lebih baik (Budiman, 1985).

Namun sebaliknya dan sungguh ironis pada masyarakat desa di Lombok khususnya di lombok timur perbedaan peran perempuan dan laki-laki seringkali melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan. Perempuan dalam hal ini seringkali menjadi korban. Pekerjaan mereka di sektor domestik tidak dihargai dengan wajar baik secara meteril maupun non-materil. Kesempatan mereka untuk menyeberang ke sektor publikpun dihalang-halangi dengan berbagai dalih.

Bagaimana Pandangan Agama Tentang Sistem Kekerabatan Patrilinial?

Pembicaraan tentang superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan sebenarnya banyak bersumber pada penafsiran terhadap al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34. Pada umumnya para ulama’ terbagi menjadi dua golongan dalam menafsirkasn ayat tersebut yaitu: Pertama, perempuan tidak boleh terlibat dalam persoalan politik karena kepemimpinan berada ditangan laki-laki sehingga hak-hak berpolitik perempuan telah berada ditangan mereka. Antara lain al-Qurthubi menyatakan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik perempuan serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar, perempun berkewajiban mentaatinya, menerima perintahnya selama yang diperintahnya itu bukan maksiat (al-Qurthubi, 1967); Kedua, ayat tersebut hanya berkenaan dengan kepemimpinan dalam rumah tangga dimana suami merupakan pemimpin bagi istri, tidak mencakup kepemimpinan dalam skala yang lebih luas. Oleh karenanya, perempuan menurut pendapat golongan kedua ini juga berhak memasuki wilayah politik. Dalam hal ini tidak ditemukan satu ketentuan agamapun yang dapat dipahami yang melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki (Jamaluddin, 1986).

Sebenarnya kedua pendapat tersebut tetap saja memberikan semacam doktrin bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat. Pendapat pertama jelas sekali melarang, sementara pendapat yang ke dua perlu dikaji lebih jauh konsekuensinya. Dalam arti jika perempuan tidak mempunyai potensi dan tidak boleh menjadi pemimpin bagi keluarganya, tentu saja sangat kecil kemungkinan ia bisa berperan di luar rumahnya sebagai pemimpin. Hal ini, paling tidak, karena dua hal, yaitu: pertama, perempuan sebagai pihak yang di pimpin tentu saja memerlukan izin dari pemimpin keluarganya (suami) agar ia bisa melibatkan diri dengan urusan-urusan politik di luar rumah, apalagi dengan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, segala urusan rumah tangga praktis di serahkan sepenuhnya kepadanya. Ini tentu akan menyita sebagian besar waktunya, dan kedua, keluarga merupakan miniatur kehidupan bernegara yang artinya kehidupan masing-masing keluarga menggambarkan bagaimana kehidupan bernegara. Di samping itu keluarga mempunyai urusan yang sederhana daripada urusan negara (politik) yang pasti lebih kompleks. Kalau saja perempuan tidak diyakini mempunyai potensi untuk menjadi pemimipin rumah tangganya, bagaimana mungkin ia dipercayai untuk menjadi pemimpin dalam urusan-urusan politik kenegaraan.

Sementara itu menurut Ruhaini Dzuhayatin (1997), cenderung ada pembalikan fakta dalam praktik sehari-hari berkenaan dengan ayat 34 surat an Nisa’ tersebut tanpa memperhatikan konteks suatu ayat, terlihat misalnya dengan adanya kenyataan sikap merendahkan dan menguasai jiwa raga oleh laki-laki terhadap perempuan dengan dalih mereka mempunyai kelebihan fisik, malah kemudian ayat ini justru digunakan untuk mengancam perempuan agar mentaati laki-laki (suami) sampai melampaui otoritas perempuan dalam beribadah kepada Allah, dengan mengajukan argumen berdasarkan hadist Rasulullah Saw yang tentu saja perlu di kritisi kebenaran proses periwayatan (sanad) serta susunan isi (matan), seorang istri harus mendapat izin untuk melakukan ibadah yang sunat hukumnya, seperti yang dikemukan oleh Ruhaini Dzuhayatin padahal sebab al tanzil ayat ini untuk menegur seorang sahabat yang menganiaya istrinya, malah oleh nabi sebenarnya istrinya disuruh membalas perlakuan suaminya, namun kemudian Allah meralatnya dengan menurunkan ayat ini, jadi sebenarnya ayat ini menekankan pada suami untuk bersikap menjaga (take full care) terhadap perempuan.

Bagaimana Pandangan Sosial Budaya Tentang Sistem Kekerabatan Patrilinial?

Perempuan dengan laki-laki berbeda, pernyataan itu dapat dikatakan berlaku universal. Perbedaan itu tidak terbatas pada perbedaan biologis yang kodrati dan tidak dapat dirubah. Perbedaan tersebut meluas pada streotipe atau pelabelan-pelabelan negatif hasil konstruksi sosial-budaya (gender) yang ironisnya hal itu dianggap sebagai takdir yang tidak dapat dipertukarkan. Perempuan, misalnya sering digambarkan sebagai sosok yang lembut, tidak asertif dan cenderung mengalah, sebaliknya seorang laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai seorang yang besar, asertif dan dominan. Dikotomi laki-laki dan perempuan juga tercermin dalam pengkotak-kotakan pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan yang dikenal dengan istilah pembagian kerja secara seksual, jelas sekali perbedaan laki-laki dan perempuan tidak saja ditentukan oleh faktor biologis dan faktor sosial budaya (Ibrahim, 1990).

Perbedaan antara perempuan dan laki-laki ditentukan oleh faktor sosial budaya atau sekarang dikenal dengan istilah gender dapat beroperasi dalam masyarakat dalam jangka waktu lama, karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system). Sistem kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan feminitas. Sistim ini mencakup stereotipe perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan (Mudzhar, 1999).

Bagaimana Padangan Hukum Tentang Sistem Kekerabatan Patrilinial?

Lebih khusus hukum perkawinan diangkat dalam pembahasan ini karena hukum inilah yang banyak berbicara dan berhubungan dengan kehidupan perempuan dalam rumah tanganya. Hukum perkawinan yang dimaksud adalah UU No. 1/1974. UU No. 1/1974 tentang perkawinan tentang salah satu kebijakan negara dinilai sebagai salah satu UU yang memapankan sikap diskriminatif terhadap perbedaan gender. Ini tercermin dalam pasal 31 dan pasal 34 tentang pembukuan peran gender, selengkapnya kedua pasal itu berbunyi:

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan keluarga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

2. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum

3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga

Pasal 34:

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemapuannya

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatannya kepengadilan.

Jika dikaji lebih jauh formulasi UU perkawinan pada kedua pasal tersebut, maka jelas adanya inkonsistensi UU itu sendiri. Pada pasal 31 ayat 1 dikatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, yang berarti memberikan peluang yang sama bagi suami maupun istri untuk berperan dan berpartisipasi demi kelangsungan hidup (survive) keluarganya maupun kehidupan masyarakat luas dalam kehidupan sosialnya.

Keseimbangan kedudukan antara suami-istri tersebut mengimplikasikan persamaan hak dalam mengambil keputusan yang terjadi dalam keluarga. Sebagaimana yang menjadi salah satu asas perkawinan pada penjelasan UU No. 1/1974 pada bagian penjelasan umum No. 4 point F bahwa keseimbangan hak suami istri tersebut mengimplikasikan segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan di putuskan bersam oleh suami-istri. Pada ayat 2 disebutkan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Rumusan tersebut jelas mengakui kapasitas perempuan (istri) untuk melakukan perbuatan hukum (legal capacity), akan tetapi disebutkan pada ayat 3 suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, yang justru mengukuhkan peranan berdasarkan jenis kelamin, bukan berdasarkan potensi dan kemampuan, lebih jauh berarti mematikan peran sosial perempuan. Pengukuhan peran gender dalam sektor domestik itu semakin melanggengkan ketimpangan relasi kekuasaan antara suami-istri.

Tugas utama perempuan sebagai ibu rumah tangga adalah mengatur keseluruhan urusan ‘dalam’ sebaik-baiknya tanpa memilih bagi mereka, sementara peran ’luar’ menjadi kompetensi absolut laki-laki. Wilayah publik yang ekonomis dikuasai oleh laki-laki, sehingga kendali ekonomi berada di tangan mereka. Dalam kenyataanya, pemegang kendali ekonomi ini dianggap sebagai pemilik modal yang berhak menentukan keputusan yang terjadi dalam rumah tangga, meski ada juga kebijakan yang dibuat untuk mendorong perempuan berperan di wilayah publik, akan tetapi perempuan tidak dapat berbuat banyak karena ketidaksetaraan dalam wilayah domestik merupakan awal terjadinya ketidak adilan dalam wilayah publik.

Dewasa ini, dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dan semakin gencarnya upaya peningkatan peran perempuan dalam berbagai kegiatan terutama di luar lingkungan keluarga; baik sebagai pencari nafkah maupun sebagai anggota perkumpulan atau organisasi menyebabkan terjadinya pergeseran peranan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Suami berperan juga dalam rumah tangga, tidak hanya di luar rumah, sementara istri membantu mencari nafkah dan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan peran mereka.

Bagaimana Kenyataan Sistem Kekerabatan Patrilinial Dewasa Ini?

Pemerintah dalam hal pendidikan dibawah kendali Departemen pendidikan melakukan pembenahan dunia pendidikan dengan pemerataan dan peningkatan kualitas. Langkah konkrit dilakukan pemerintah melalui langkah regulasi hukum bersama legislatif sebagai peran legislasi dengan membentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan menteri pendidikan. Departemen pendidikan merupakan salah satu departemen yang ada dalam pemerintah kita yang berkewajiban membentuk mental pikiran bangsa ini untuk menjadi bangsa yang memiliki intelektualitas dan mentalitas yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan kepada Negara untuk semua warga Negara Indonesia mendapatkan yang layak. Pendidikan memiliki fungsi seperti yang tertera dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan yang mulai merata tanpa memandang jenis menggeser pelan pola patrilinial. Pada masyarakat lombok yang mulai memiliki pemahaman arti pentingnya pendidikan dalam kehidupan memberikan salah satu langkah maju dari masyarakat lombok. Dimana hal itu kita lihat dari realita jumlah siswa antara yang laki-laki dengan perempuan yang berimbang dan hampir didominasi oleh perempuan. Pembentukan mental intelektual di sekolah membuat kaum perempuan tak jarang memiliki prestasi yang jauh dibandingkan dengan laki-laki, bukti konkrit itulah yang kemudian menuntun perempuan menjadi tidak dipandang sebelah mata dalam kehidupan sosial. Sehingga dengan perlahan realita kehidupan itu akan memberikan kontribusi positif terhadap budaya sasak lombok untuk mampu terbuka kepada kemajuan zaman tanpan mengurangi esensi makna.

Pendidikan memiliki tujuan yang sangat mulia seperti yang diungkapkan oleh Profesor Dr. S. Nasution dimana pendidikan bertujuan untuk mendidik manusia susila yang bertanggung jawab dan memiliki jati diri sebagai warga negara yang baik. Dengan pandanga itu sudahlah jelas bahwa pendidikan itu sebagai pusat produktif untuk memunculkan generasi bangsa yang berprilaku baik dengan mentalitas kritis dan arif kepada budaya bangsanya. Pendidikan dalam pandangan teori konstruktifis dimana pendidikan merupakan pembentukan realita berpikir seseorang untuk mampu menginterpretasikan dan mengkonstruksi dengan baik aktifitas-aktifitas yang didasarkan pada pengalaman kedalam pembentukan pola pikirnya. Dari hal itu maka pengalaman yang ada pada kehidupan sehari-hari baik itu pergaulan maupun tuntutan zaman akan membentuk pola pikir yang menyesuaikan dengan arif tanpa menghilangkan identitas diri (Budiningsih, C.A. 2006).

Partisipasi perempuan dalam keperintahan dilandaskan pada kemampuan yang dimiliki tidaklah mengurangi tingkat mobilitasnya. Pendidikanlah menjadi jawaban jika ada orang menanyakan, kenapa perempuan bisa? Sistem pemerintah haruslah obyektif dalam menentukan penempatan pemimpin yang akan menggerakkan roda suatu bidang, karena hal ini akan menjadi salah satu parameter keberhasilan suatu sistem. Signifikansi peran kepemimpinan yang obyektif tanpa adanya kolusi dan nepotisme membuat suatu keperintahan harus jeli menentukan kebijakan yang terkait suatu jabatan, sehingga pemerintah yang berpikir maju menggunakan pendekatan kualitas lebih penting daripada kultur dan jenis kelamin dalam penempatan pemimpin suatu jabatan tersebut.

Partisipasi dan kegiatan perempuan di sektor publik itu dapat mempengaruhi cakrawala pemikiran serta dapat mengembangkan tingkah laku perempuan, sebab melalui interaksi, informasi dan kesempatan pendidikan yang sama menjadikannya peka terhadap perubahan. Hal ini dapat pula mempengaruhi mereka untuk menjadi lebih tanggap terhadap ketimpangan yang terjadi termasuk distribusi dan alokasi kekuasaan di keluarganya yang akan teraktualisasi pada proses pengambilan keputusun keluarga. Pentingnya partisipasi perempuan dalam menentukan keputusan dalam beberapa sektor membuat sistem patrilinial mulai terbuka dalam cara memandang makna perubahan zaman dimana dengan dibentuknya organisasi muslimat (perempuan) yang mengorganisir kaum perempuan untuk membentuk konsep-konsep maju yang merupakan hasil pemikirannya kemudian akan diaplikasikan untuk kemajuan masing-masing Desa di Lombok Timur.

Dalam kepemerintahan termasuk porsi logislator perempuan yang semakin besar membuat paradigma kultural patrilinial semakin kabur. Menggeliatnya protes pemerataan kedudukan dalam tanda kutip kesempatan dengan kaum laki membentuk kepemerintahan daerah Nusa Tenggara Barat mengakomodir peran gender mulai dilakukan ditingkatan pengambil kebijakan dan pada posisi legislatif dengan persentase sebesar 30 % untuk kaum perempuan membuat peluang besar adanya kebijakan yang terkait dengannya. Termasuk di Pemerintahan Lombok Timur dimana kita lihat banyaknya peran perempuan dalam pelayanan publik keperintahan yang kemudian dijadikan salah satu komoditi politik oleh para calon kepala daerah untuk mengkail simpatik kaum tersebut.

Kesempatan kaum perempuan sasak Lombok yang tidak selalu berada pada sektor domestik tidak mengurangi makna budaya sasak. Sikap dinamispun diperlihatkan oleh lembaga ada yang disebut Majelis Adat Sasak dalam memandang persoalan fungsi sektoral antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan menurutnya tidak akan mengurangi nilai budaya sasak. Budaya merupakan karakter khas bangsa-bangsa seperti bangsa sasak, jawa, bali, dayak, dan sebagainya yang ada di negara kesatuan indonesia seperti aksara, bahasa, prosesi pokok kebudayaan contohnya prosesi pernikahan, yang semua itu harus dilestarikan dan dipertahankan oleh generasinya.

Bagaimana Tanggapan Majelis Adat Sasak Tentang Kenyataan Itu?

Permasalahan peran wanita yang dulunya diatur sedemikian rupa bukan berarti keinginan masyarakat tetapi karena lingkungan. Menurut ketua Majelis Adat sasak dalam bukunya tata budaya adat sasak Lombok mengungkapkan bahwa pemetaan berpikirnya masyarakat yang mungkin sudah terkontaminasi pergaulan modern sering memberikan pertanyaan tentang adat sasak yang menurutnya menghilangkan hak asasi manusia. Adat sasak memiliki roh yang kuat dalam watak kita, permasalahan fungsi sektolar kaum perempuan dulunya yang kelihatan dibatasi itu dijadikan tradisi masyarakat Lombok tidaklah bermaksud diskriminatif tetapi sebagai langkah kontrol kepada kaum perempuan yang cukup lemah dari segi fisik. Kontrol yang dimaksud adalah penjagaan keamanan terkait dengan lingkungan yang penuh dengan kesederhaan, keterbatasan, dan yang menjadi momok pada saat itu adalah keadaan keamanan yang memerlukan kerja otot sebagai jalan keluarnya. Anda bisa bayangkan bagaimana kita kehilangan jati diri ketika kerajaan sasak yaitu selaparang (Lombok) dikalahkan oleh kerajaan karang asem pada tahun 1740 yang kemudian pada tahun 1894 kerajaan karang asem dikalahkan belanda, sehingga kita terjajah selama 204 tahun dan kita menjadi kehilangan identitas. Dengan keadaan lingkungan yang eksodus selama 204 tahun dimana dengan sering adanya tindakan yang tidak bermoral dari kaum penjajah membuat kaum perempuan tertekan dari segi keamanan. Tindakan amoral yang tidak sesuai dengan kepercayaan masyarkat sasak membuat kaum perempuan sering tidak dilibatkan karena konsep pemahaman masyarakat adalah masalah keamanan lebih dititik beratkan untuk kaum laki-laki, karena starategi pembebasan dulu menurut pakar budaya Anhar Gonggong adalah strategi otot bukan stategi otak seperti sekarang.

Permasalahan sistem kekerabatan patrilinial masih ada menurut H. Lalu Lukman tokoh adat Sasak tapi sangatlah sedikit sekali karena sudah tergeser dengan sentuhan pendidikan yang mulai membuka pemahaman masyarakat tentang budaya itu tanpa menghilangkan makan penting yang terkandung didalamnya. Sehingga dengan pendidikan sudah mengajarkan masyarakat tentang lingkungan yang sudah berbeda dari perspektif keamanan dengan yang zaman penjajahan apalagi dengan adanya teknologi, dimana melalui pendidikan mengajarkan bagaimana membentuk pola pikir generasi untuk mampu membahasakan pengoperan arti budaya dari generasi ke generasi berikutnya.

Penutup

Pandangan dari berbagai kalangan masih menjadi kontrofersi dan begitu pula menurut perspektif hukum, perkembangan zaman sudah memberikan kontribusi kepada keterbukaan sistem kekerabatan patrilinial di masyarakat pedalaman Lombok, hal itu merupakan salah satu danpak positif dunia pendidikan yang telah mampu merekonstruksi pola pikir masyarakat untuk tidak terlalu kaku memaknakan budaya dan adat istiadat yang ada di Lombok. Perubahan itu tidak dipersoalkan oleh Majelis Adat Sasak karena kekerabatan patrilinial bukanlah roh adat sasak tapi itu hanyalah pola prilaku yang eksodus dari masyarakat Lombok setelah dijajah selama 204 tahun. Perlu adanya sosialisasi makna budaya dan adat sasak yang sebenarnya demi langkah awal pelestariannya dan harus menekankan kepada dina pendidikan setempat untuk mengharuskan pada mata pelajaran muatan lokal untuk betul-betul berbasis budaya sasak untuk menumbuhkan rasa cinta sejak dini kepada anak tentang budaya lokalnya untuk menghindari kontaminasi budaya asing.

Bahan Rujukan

Anonim. 2003. UU. No 20 tentang SISDIKNAS. Jakarta. Depatemen Pendidikan

Anonim. 2003. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan. Jakarta. Depatemen Agama

Budiningsih, C. Asri. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Balai Pustaka

Budiman, Arif, (1985). Pembagian kerja secara seksual, Jakarta: Gramedia.

Blood, Robert O. Jr and Donald Wolfe, (1960). Husbands and wifes: The dynamics of married living. New York: The Press.

Ibrahim, T. O. (1990). Para ibu yang berperan tunggal dan yang berperan ganda. (Kumpulan Laporan Penelitian Kelompok Studi Wanita). Jakarta: FISIP UI.

Jalaluddin, al-Mahalli, dan Jalaluddin al-Suyuti, (1981). Tafsir Al Qur’an al Adzim. Beirut: Dar al Fikr,

Lukman, H.L. 2006. Tata Budaya Adat Sasak Lombok. Lombok. Kumpulan Tata Budaya Lombok

Mudzhar, M. Antho, (1999). Persoalan Gender dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, dalam Profika, Jurnal Studi Islam, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiayah Surakarta, Vol. 1, No. 1 Januari 1999

Nasution, S. 1998. Asas Kurikulum. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rosaldo, Michaelle Zimbalist & Lamphere (eds.), (1979). Woman, culture and society. California: Stanford University Press,

Tidak ada komentar: