Jumat, 12 Desember 2008

Pemuda bangsa

PEMUDA YANG TIDAK MEMUDA1

Oleh : Agus Muliadi2

Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi sebagaimana dalam beragama yang dimengerti sebagai hubungannya dengan kekuatan ketuhanan. Manusia juga seringkali dalam kehidupan sosial sehari-hari melakukan prilaku membandingkan dirinya dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk, perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan terhadap sesamanya dalam keseharian.

Penggolongan manusia dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi dan tidak jarang memberikan dampak yang tidak bagus seperti perkelahian, pembunuhan dan sebagainya. Sifat manusia yang sering menggolongkan dirinya sudah menjadi sebuah budaya bermasyarakat yang tidak baik, tetapi tetap lestari. Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya yaitu perempuan dan laki-laki, di mana proses penggolongan yang secara alamiah tersebut memberikan dampak terhadap persepsi tentang potensi yang dimiliki kedua golongan tersebut. Dalam kehidupan bermasyarakat sering muncul sikap membandingkan potensi antara laki-laki dan perempuan dalam hal pelayanan publik, perempuan selalu dianggap kurang tepat dalam sektor tersebut. Fenomena tersebut masih diperlihatkan di daerah pedesaan maupun perkotaan dan lembaga-lembaga sosial keagamaan yang memegang sistem patrilinial menjadi tonggak pijakannya. Sebagaimana dengan adanya pertentangan yang cukup hangat tentang keberadaan perempuan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi sosial maupun organisasi kepemerintahan.

Perdebatan sistem patrilinial dan matrilinial sudah tidak layak untuk diperdebatkan pada masa sekarang, di mana manusia haus akan dunia pluralistis yang tetap berketeraturan. Patrilinial yang selalu mengedepankan otoritarianisme atas nama tafsir oleh beberapa tokoh-tokoh paguyuban-paguyuban sosial keagamaan yang terlalu berpikir sempit tentang arti keperempuan dan cenderung menggunakan logika-dakhilnya sendiri yang merupakan hasil praktik-praktik sehari-hari yang kemudian merucutkan menjadi sebuah bahasa keagamaan. Realita tersebut sangat tidak beralasan secara rasionalisasi keagamaan dan tidak melihat bagaimana kebebasan bersuara dan berpendapat yang dia miliki saat ini tidak terlepas dari keberhasilan sejarah bangsa yang di dalamnya terdapat goresan jiwa dan raga tokoh-tokoh perempuan. Sejarah telah memperlihatkan bagaimana peran penting seorang perempuan terhadap kebebasan bangsa kita dari tangan penjajahan. Kemartabatan bangsa kita sekarang ini tidak bisa terlepas dari peran tokoh-tokoh perempuan yang memiliki rasa kemerdekaan dijiwa yang kemudian direbut secara fisik melalui perjuangan publik pada masa penjajahan. Tokoh besar bangsa kita pada masa penjajahan seperti Ibu Kartini yang telah mampu memberikan alur perjuangan yang berlandaskan sifat keperempuannya, tetapi memberikan kontribusi yang tidak kalah besar dibandingkan pejuang-pejuang laki-laki pada masa itu.

Penggolongan dalam kehidupan manusia lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua. Kehidupan kita penggolongan tersebut sudah menjadi sesuatu yang tidak tabu, tetapi terkadang kita tidak melihat secara keritis terhadap dampak psikologis dalam penggolongan tersebut. Kepemerintahan bangsa kita yang sekarang sudah mampu berjalan tanpa tekanan keamanan dibawah mortir dan peluru penjajah serta sudah mendapatkan pengakuan publik tentang kemartabatannya secara penuh. Dampak psikologi dari penggolongan tersebut adalah dengan bermunculannya persepsi kekuatan fisik yang berbeda dalam tiap tingkatan golongan tersebut, di mana orang yang tergolong tua selalu identik dengan fisik yang melemah atau tidak seenergik yang tergolong pemuda/i. Konsep keberhasilan hidup pada masa pasca penjajahan sudah sangat berbeda dengan pada masa sejarah sebelum kemerdekaan bangsa kita.

Profesor Anhar Gonggong (2006) dalam orasi budayanya mengatakan bahwa strategi kehidupan berbangsa maupun bersosial sudah mengalami pola yang berbeda antara pada masa penjajahan dan pasca penjajahan (merdeka). Masa penjajahan segala proses kehidupan manusia selalu diiming-imingi dengan letupan rasa takut akan terpisahnya jiwa dan raga (mati) karena tekanan keamanan dari pihak penjajah. Penjajahan yang siap mendulang nyawa manusia jika menetang kedoktatoran sistem yang dibangun pada masa itu, maka demi eksistensi diri dan kemerdekaan secara jiwa dan raga bangsa kita menerapkan strategi otot (adu fisik) sebagai langkah rekonsiliasi cata-cita kemerdekaan dalam sebuah perjuangan yang tidak bisa mengandalkan diplomasi dan retorika belaka. Pandangan ahli budaya tersebut sejalan sebagaimana ungkapan tokoh plopor ploklamasi kemerdekaan bapak Sukarno yang mengatakan “berikan saya sepuluh pemuda maka saya bisa mengotak-atik dunia”.

Kekuatan fisik yang menjadi solusi utama menuju kemartabatan bangsa pada masa penjajah memiliki linierisasi dengan makna psikologi penggolongan manusia berdasarkan umur, di mana secara implisit memberikan makna orang yang sudah tergolong tua sudah tidak “mampu” melakukan sesuatu yang bermakna secara signifikan untuk sebuah perubahan. Pemuda yang selalu dianggap menjadi resolusi terhadap pemecahan masalah dan mampu membawa angin perubahan merupakan paradigma baru yang selalu diungkapkan dalam sebuah pergerakan pasca reformasi akhir-akhir ini. Kemampuan anak muda telah menuai apresiasi belakangan ini oleh banyak kalangan dalam kehidupan sosial, akademis maupaun kepemerintahan. Dalam kehidupan bermasyarakat pemuda selalu dipercaya sebagai “design maker” dalam melakukan sebuah langkah inovatif dan produktif pada kegiatan-kegiatan sosial keagamaan baik yang bersifat teknis maupun analis. Dunia akademis terutama dalam perguruan tinggi mahasiswa sebagai insan muda yang intelektual selalu memegang erat di jiwa semboyan agen of change and agen of control dalam melakukan langkah perubahan dalam kehidupan sosial dan bernegara. Realita telah mencatat ribuan langkah mahasiswa sebagai pemuda dalam memanivestasi semboyannya dalam bentuk berbagai langkah konkrit sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang ada. Sikap tersebut mendapat legitimasi sosial yang terkadang kurang mengenakkan karena langkah solusi yang selalu didominasi dengan langkah yang bersifat refresif yaitu demonstrasi.

Peran aktor pemuda telah menempatkan kiprahnya dalam dunia birokrasi kepemerintahan yang sedang menjadi sebuah yang fenomenal terutama dalam percaturan politik dunia pada belakangan ini. Perpolitikan bangsa kita sudah memperlihatkan suhu hangat sebagai gaya menyambut pesta demokrasi nasional yaitu pemilihan wakil rakyat di seluruh Indonesia dan pemilihan pemimpin Eksekutif nasional kita pada tahun 2009 mendatang. Peran golongan muda dalam kepemimpinan bangsa kita menjadi wacana setiap media masa dibidang perpolitikan mendatang, hal itu menggambarkan betapa besar harapan Ibu pertiwi akan keberadaan pemimpin muda dengan harapan mampu membawa angin segar bagi kemakmuran rakyat. Realita yang selama ini dianggap suatu yang mustahil dan mungkin hanya ada dalam dunia entertaimen ternyata telah tumbuh dengan lancar, sebagimana pemimpin muda dari ras minoritas yang tertindas mampu memimpin negara paman sam (Amerika Serikat). Kemenangan Barack Hussein Obama menjadi catatan sejarah dunia bahwa demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dalam kehidupan berbangsa menjadi sebuah prioritas utama, sehingga penggolongan rasisme sudah tidak menjadi sebuah penghalang dalam langkah perubahan yang ditengarai oleh kaum muda. Realita-realita itulah yang telah memberikan legitimasi yang semakin berakar kuat tentang kekuatan golongan “muda” sebagai resolusi perubahan dalam kehidupan berbangsa, realita itu juga telah membuktikan suatu manivestasi dari kalimat “pemuda sebagai penggerak roda kepemimpinan bangsa”.

Roda perubahan kehidupan yang ditengarai oleh kalangan pemuda sudah menapasi semua penjuru bangsa di dunia, tetapi fenomena dalam keseharian pemuda bangsa kita tidak jarang memberikan gambaran yang kontraproduktif akan peran golongan tersebut. Hal tersebut terlihat dengan maraknya kriminalitas yang ditengarai oleh kalangan pemuda dan minimnya pemikiran pemuda yang mampu memberikan resolusi terhadap sebuah permasalahan bangsa. Bahkan permasalahan pribadinyapun tak sanggup untuk melakukan hal itu. Sikap pemuda yang terlihat belakangan ini merupakan gambaran sikap orang yang bersikap distanisasi reflektif terhadap sesuatu aliran fenomena alam dan tidak memberikan gambaran sebagaimana seharusnya seorang pemuda pada dunianya saat itu yang seharusnya memberikan kesan perubahan yang lebih berarti dari orang yang umurnya lebih tua.

Keterbelahan kualitas pemuda yang tergolong super power seperti kepemimpinan negara paman sam (Amerika Serikat) yang sekarang ditengarai oleh kaum muda karena memiliki kelebihan dari yang tua, sangat berbeda dengan penulis yang terlihat hanya tergolong pemuda tetapi tidak “berjiwa muda”. Hal itu penulis rasakan di mana dengan potensi yang terbalik diperlihatkan Ibu Profesor sebagai seorang pendidik perempuan yang tergolong berusia sudah lebih tua dari penulis masih memiliki sikap bertanggung jawab terhadap sebuah perubahan dengan tetap bersedia mengisi kuliah walaupun punya kesibukan tugas yang lain di luar. Sedangkan penulis sebagai anak muda tidak mampu memahami semua peroses pembelajaran secara mendalam karena kurang belajar secara pribadi. Dengan napas yang tidak teratur beliau memulai perkuliahan memberikan makna kegigihan dan rasa bertanggung jawab yang sangat luar biasa dalam melakukan perubahan umat manusia dari tidak bisa menjadi bisa melalui pembelajaran yang beliau lakukan pada hari itu.

Persis situasi ini yang menjebak diskursus sistem patrilinial dan pemuda sebagi agen of change kedalam jalan buntu. Tanpa adanya bahasa perubahan, sebagaimana yang telah seyogianya disediakan oleh kalangan pemuda di dunia dan kritik-dakhil rasional politikus muda dunia, dengan hal tersebut maka isu keberhasilan pemuda akan selalu dibaca dan dibahasakan entah sebagai persoalan pendakuan ideologis, atau problem sinkretisme (atau sisi lain dari mata uang yang sama: relativisme) sikap. Perkuliahan Itu jelas merupakan medan penuh kontradiktif yang mengarah pada situasi “Tong kosong nyaring bunyinya”. Padahal, jika nilai-nilai jiwa kepemudaan itu diinterpretasikan dengan benar dan dimanivestasi dalam sikap keseharian penulis, mungkin situasi menabung genderang dengan “tong kosong tersebut tidak bersuara kembali” pada masa yang penuh kemajuan Ilmu pengetahun dan teknologi yang tidak terlepas dari kiprah anak muda.

Tidak ada komentar: