Jumat, 12 Desember 2008

artikel pembelajaran

NATION AND CHARACTER BUILDING1

Oleh : Agus Muliadi2

Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Pendidikan sebagai salah satu sarana yang strategis dalam perkembangan sumber daya manusia Bangsa, sehingga pendidikan dalam proses dan tujuannya ditetapkan dalam regulasi hukum yang khusus yaitu berbentuk Undang – Undang. Fungsi pendidikan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Menurut Raka Joni (2005), mengemukakan bahwa pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi. Selain itu juga untuk membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan Sumber Daya Manusia yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi bukan saja di arena lokal dan nasional melainkan juga di arena regional dan global.

Peserta didik dan pendidik adalah tokoh sentral dalam dunia pendidikan. Artinya, maju-mundurnya dunia pendidikan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana kondisi dan kualitas dari peserta didik dan pendidiknya. Untuk itu, pembicaraan dan pembuatan kebijakan mengenai pendidikan haruslah melibatkan dan menempatkan subjek pendidikan ini dalam porsi yang sepantasnya. Jangan sampai subjek pendidikan, yaitu peserta didik dan pendidik justru dijadikan objek, seperti yang kerap terjadi selama ini. Dengan demikian, diperlukan suatu usaha kolaboratif berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka agar menjadi lebih demokratis.

Pendidik merupakan salah satu komponen pembelajaran yang memiliki peran sangat penting demi mencapai ketuntasan dan pembentukan moral peserta didik. Realita sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh adanya langkah praktis pembelajaran yang menjadikan guru menjadi satu-satunya sumber belajar, sehingga pendidikan tidak pernah menghasilkan lulusan yang sesuai dengan standar kelulusan secara kognitif. Prefesionalisme pendidik harus menjadi sebuah prioritas utama untuk menjalankan pendidikan yang ideal sebagai sebuah sarana pembentukan mental dan moral bagi individu-individu, agar menjadi manusia yang berbudaya dan bermamfaat bagi Bangsa (Azra, 2006).

Sikap profesionalisme pendidik merupakan salah satu bagian yang fundamental dalam menjalankan sistem pendidikan yang dituntut tidak sekedar menjadi alat transfer ilmu tetapi juga sebagai sarana konstruktif mental warga Negara yang berbudaya. Pencapaian pendidikan Nasional yang masih jauh dari dari ketentuan standarisasi dalam perundang-undangan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global, hal itu terlihat dengan kelemahan baik secara kuatitatif maupun kualitatif. Kegagalan sistem pendidikan sebagai sarana pembentuk manusia Indonesia yang kompetitif bukan hanya di tinjau dari sudut kognitif saja tetapi kegagalan yang sangat fatal adalah gagal dalam pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Menurut Azara (2006) pendidikan Indonesia memiliki peran yang sangat berat, karena tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih luas lagi pembudayaan (enkulturisasi) yaitu pembentukan karakter dan watak warga Negara menuju rekonstruksi Negara dan Bangsa.

Sikap pendidik yang rekonstruktif telah penulis dapatkan pada dosen metologi penelitian di Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan yang akan mencetak tenaga pendidik mengalami krisis, bukan dalam hal akademis lulusan, tetapi menyangkut pembentukan mentalitas, moral dan etika mahasiswanya yang tidak terbentuk sesuai dengan amanat konstitusi sehingga terdapat permissivisme nilai dalam lingkungan perguruan tinggi tersebut (Navis, 1999). Perkuliahan di Pasca Sarjana penulis menemukan sosok dosen yang akan mampu melakukan reposisi paradigma pendidikan yang sedang dilanda krisis mentalitas dan moral peserta didiknya, beliau adalah Profesor Dr. Herawati Susilo dosen mata kuliah metologi pendidikan. Sikap rendah hati, menghargai orang lain dan terbuka, merupakan karakteristik yang selalu implisit dalam cara pembelajaran beliau di kelas, yang tidak luput mendapatkan apresiasi yang sangat positif dari penulis dan teman-teman. Interaksi pembelajaran dengan figur pendidik yang seperti itu secara tidak langsung telah mengembalikan penulis untuk berpikir kembali (flashback) kepada fitrah penciptaan manusia yang sebenarnya, dengan pembentukan pola pikir yang kritis dan berbudaya menuju masyarakat madani.

Perkuliahan mata kuliah metologi penelitian pada pertemuan pertama telah memperlihatkan peran pendidikan dalam mempersiapkan anak bangsa baik secara individual maupun sosial untuk memiliki kemampuan, keterampilan, etos dan tanggung jawab serta kejujuran untuk berpartisipasi dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani. Pemberian tes awal (pretest) sebelum memulai perkuliahan merupakan langkah untuk mendapatkan gambaran sejauh mana kemampuan dasar (basic competent) untuk mengikuti perkuliahan metodologi penelitian, terkait dengan penentuan materi demi tercapainya efektifitas pembelajaran. Langkah itu juga sudah memberikan sebuah kesempatan kepada penulis dan teman-teman untuk menarik sebuah kesimpulan tentang karakteristik pebelajar dari perspektif kualitas perseorangan, dalam hal ini adalah kemampuan awal (Dwiyogo, 2008).

Tiap individu berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing (Individual deferences). Identifikasi dan pemahaman terhadap diri sendiri akan membantu dalam meningkatkan kualitas diri. Pendidikan menurut penulis haruslah mengajarkan kepada peserta didik agar “tahu diri” sehingga sadar atas kekurangan dan kemampuannya sendiri. Selain itu menjadi diri sendiri diartikan juga sebagai proses diri untuk belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, yang sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri baik untuk diri sendiri maupun di masyarakat (Rahbini, 2007).

Tingkat heterogenitas suku dan agama teman-teman penulis dalam kelas masih menjadi sebuah batasan sosial dalam interaksi di kelas, iklim perbedaan latar belakang itu seharusnya dijadikan proses pembelajaran yang cukup efektif untuk menyadari makna Bhineka Tunggal Ika untuk memperkuat wawasan nusantara, yang sudah dianggap sebagai sesuatu yang konvensional dalam pembelajaran di dunia pendidikan kita. Sejauh mana sikap praktis kita dalam mempertahankan integrasi bangsa sebagai sektor makro dapat diukur melalui sejauh mana kemampuan kita untuk membentuk sikap persatuan dan kesatuan dalam sektor mikro (kelas) sekarang. Pendidikan sebagai sarana pembudayaan (enkulturisasi) harus mampu memecahkan masalah yang berkembang sekarang yaitu “kelatahan sosial” seperti tuntutan demokrasi yang diartikan kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa ada kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, dan hak asasi manusia yang mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajibannya (Azra, 2006). Pendidikan adalah sarana untuk mengajar para murid dan para siswa tentang keanekaragaman manusia dan untuk menanamkan pada mereka suatu kesadaran persamaan dan saling ketergantungan dari semua orang-orang (Delors, 2005). Dengan kata lain siswa dibangun kesadaran adanya pluralisme dan menerima kenyataan banyaknya perbedaan dan latar belakang, tradisi, sejarah, budaya dan nilai-nilai masing-masing individu (Delors,1992).

Dalam masyarakat Indonesia misalnya dikenal istilah SARA yang pada dasarnya netral dan banyak mengandung potensi positif. Pembelajaran di dalam kelas penulis yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi sangatlah membutuhkan sikap pendidik yang rekonstruktif seperti Profesor Dr. Herawati Susilo untuk menumbuhkan pemahaman terhadap pluralisme yang akan menyadarkan kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan semacamnya, sebagaimana tuntutan abad 21 (global). Dunia realitas memang terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama, budaya dan bermacam-macam perbedaan. Sikap eksklusivisme yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat terjadi. Kenyataan ini semakin konkrit dengan adanya globalisasi yang dikuasai oleh alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali tak bisa dihindari. Oleh karena itu cara yang harus ditempuh adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan bersama-sama tanpa harus uniformity (serba satu); dan saling memanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang dalam kehidupan bersama (Azizy,2002).

Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Salah satu fungsi satuan pendidikan adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan

KONSTITUSI VERSUS KENYATAAN PENDIDIKAN

HARAPAN KONSTITUSI VERSUS KENYATAAN PENDIDIKAN

Oleh : Agus Muliadi


Pemerintah sangatlah intensif melakukan perubahan sistem dalam dunia pendidikan dengan langkah hukum dan langkah aksi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Langkah yuridisa direalisasikan dalam bentuk perundang-undangan, peraturan pemerintah dan peraturan menteri pendidikan dan langkah aksi yang dilakukan dengan pembenahan kualitas melalui penertiban perangkat pembelajarannya. Pembenahan dengan langkah aksi tidak jarang mempertontonkan hasil yang menampar muka pemerintah, dimana hal itu disebabkan salah satunya oleh Sifat malas aparaturnya dan karena tekanan politik internasional membuat bangsa ini terkadang keliru yang malah berhadapan dengan konstitusi. Pembenahan yang salah dari dampak sifat itu diperlihatkan dengan banyaknya regulasi yang merupakan saduran dari bangsa asing yang tentunya sangat tidak sesuai dengan karakter lingkungan kita yang justru akan menjadi salah satu faktor penghalang keberhasilan dalam aplikasinya didunia pendidikan.

Pendidikan berstandar internasional yang memiliki isi pembelajaran yang bertaraf internasional tapi kebanyakan sekolah yang berlebel seperti itu hanya menampilkan eksistensinya dengan penggunaan bahasa inggris dalam prosesnya, yang sangat bertentangn dengan amanat konstitursi kita dan secara ilmu psikologi bahasa itu akan sangat menentukan milieu psikis yang secara pelan akan membentuk mental anak seperti budaya asal bahasa tersebut.

Kata-kata kunci: Harapan konstitusi, kenyataan pendidikan.

Pendahuluan

Pemerintah dalam hal pendidikan dibawah kendali Departemen pendidikan melakukan pembenahan dunia pendidikan dari segi kualitas. Langkah konkrit dilakukan pemerintah melalui langkah regulasi hukum bersama legislatif sebagai peran legislasi dengan membentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan menteri pendidikan. Departemen pendidikan merupakan salah satu departemen yang ada dalam pemerintah kita yang berkewajiban membentuk mental pikiran bangsa ini untuk menjadi bangsa yang memiliki intelektualitas dan mentalitas yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan memiliki fungsi seperti yang tertera dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Langkah maju pemerintah dalam pembenahan dunia pendidikan terlalu sering menginterpretasikan kata maju dalam bentuk yang salah. Pemerintah membentuk perangkat pendidikan yang up to date seperti kurikulum yang aplikasinya hanya sampai tataran administratif semata karena hal itu tidak disesuaikan dengan kesiapan satuan pendidikan secara kesuluruhan baik dari segi sumber daya pengajarnya, sarana dan prasana yang menunjang dan lainya yang sekiranya akan menjadi penting dalam membantu dalam kelancaran proses. Perubahan yang dilakukan menjadi tidak memiliki makna yang signifikan dalam misi pembenahan pendidikan dari segi kualitas. Sikap pemerintah yang hanya bisa bongkar pasang kurikulum sudah menjadi momok dunia pendidikan kita, hal itulah yang membuat bangsa kita hanya mampu membentuk kulit dunia pendidikan belum sampai kepada organ anatomi dalamnya dalam hal ini adalah isi pembelajarannya.

Artikel ini membahas tentang apa harapan konstitusi tentang dunia pendidikan di Negara ini dan apa kenyataan yang malah terjadi pada dunia pendidikan kita yang condong bertentangan dengan konstitusi serta artikel ini juga membahas apa dampak negatif kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan.

Apa Harapan Konstitusi Terhadap Dunia Pendidikan?

Pemerintah yang normal haru menjalankan roda keperintahannya dibawah cita-cita luhur para pejuang kemerdekan yang tertuang dalam pancasilan sebagai ideologi bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemeritah dalam hal ini departemen pendidikan menjalankan amanat konstitusi dalam dunia pendidikan dengan melakukan berbagai langkah baik secara yuridis maupun secara teknis. Departemen pendidikan setelah masa reformasi mulai menggeliat untuk mencoba bangkit dengan instrumen demokrasi yang diadobsi oleh bangsa ini, hal itu dimulai dari internal pemerintah yang membentuk landasan hukum tentang pelaksanaan pendidikan di negara ini dalam bentuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan. Salah satunya adalah dengan keberhasilan pemerintah membentuk Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, regulasi itu diharapkan akan menjadi payung hukum sekaligus menjadi panduan dalam melakukan pengembangan instrumen pendukung untuk pelaksanaan teknis di satuan pendidikan dan mencapai meraih tujuan dunia pendidikan yang sebenarnya seperti yang tercantum dalam konstitusi. Segala aktifitas pendidikan dalam bentuk satuan pendidikan apapun harus menghormati dan berlandaskan pada konstitusi, hal ini terlihat dari pengaturan secara khusus pada UU No 20 tahun 2003 pada BAB IV Pasal 33 tentang kesamaan bahasa pengantar dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah Bahasa Indonesia dimana hal ini akan untuk tetap mencermin rasa nasionalisme peserta didik dan membentuk jiwa persatuan dalam Bhineka Tunggal Ika

Setelah reformasi memfokuskan pengembangan kualitas pendidikan dengan salah satu langkah yaitu membentuk Standarisasi Pendidikan Nasional. reformasi dunia pendidikan dengan melakukan standarisasi Langkah teknisnya sudah diatur dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional seperti yang tercantum dalam BAB IX Pasal 35 yaitu “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.” Dengan amanat konstitusi itu maka diharapkan tidak ada diskriminatif dalam segi penjaminan mutu pendidikan dari sabang sampai marauke. Yang dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 dengan membentuk standar pokok seperti yang tercantum pada BAB II Pasal 2 yaitu Lingkup meliputi: Standar isi;.Standar proses; Standar kompetensi lulusan; Standar pendidik dan tenaga kependidikan; Standar sarana dan prasarana; Standar pengelolaan; Standar pembiayaan;dan Standar penilaian pendidikan. Acuan itu akan menjadi landasan dalam penyusunan kurikulum sesuai dengan satuan pedidikan yang akan dikembangkan dalam instrumen prangkat pembelajaran oleh pendidik.

Pengembangan kurikulum akan tetap dilakukan terkait tuntutan masa dan lingkungan, yang tetap dibawah tatanan konstitusi bangsa. Pemikiran manusia yang dua langkah lebih maju dari waktu menyebabkan dunia pendidikan harus konservatif untuk melakukan perubahan perangkat yang digunakan. Menurut Profesor Dr. Ny. Maftuchah Yusup (1995) bahwa pokok perubahan dalam sistem pendidikan kita tidak boleh keluar dari kaedah dasar dan asas pendidikan serta tujuannya yang luhur untuk mengembangkan kebudayaan nasional untuk mewujudkan pengembangan bangsa. Hal itu terlihat menurut beliau bahwa pada zaman modern pendidikan memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang bersaing dan mengawetkan budaya luhur. Pada saat bersamaan Profesor Dr. S. Nasution (1998) juga memberikan pendapatnya yaitu pendidikan memiliki tujuan mendidik manusia atau mendidik manusia susila yang bertanggung jawab pada status kewargaannya.

Apa Kenyataan Dunia Pendidikan Di Negara Kita?

Bangsa kita dalam lingkungan internasional bukan beradaptasi tapi bergantung. Sistem itu terlihat dimana pemerintah sangat merasa butuh kepada bangsa maju seperti Amerika Serikat dari segala aspek dimana segala perubahan di negara itu menjadi barometer perubahan bangsa kita, hal itu menandakan kita kehilangan martabat. Pemerintah seharusnya memikirkan solusi atau jalan keluar untuk memperkecil ketergantungan tersebut yang sekiranya akan mampu memunculkan rasa keakuan kita kepada bangsa lain. Harapan itu malah memberikan jawaban yang terbalik dimana malah condong membentuk psikologi bangsa menjadi babu United State atau kasarnya bagaikan kucing diberi ikan oleh tuannya. Dampak dari hal itu menjadikan negara kita sangat tidak memiliki keberanian untuk melawan arus tatanan gelobal, dimana hal ini terlihat dengan adanya kebijakan-kebijakan yang kadang mengiyakan kesepakatan internasional yang sangat bertentangan dengan ideologi bangsa kita. Contoh ketidakberanian negara kita yaitu pertama ketidaktegasan dalam mengambil keputusan tentang ahmadiah yang telah menjadi pemicu konflik horizontal dan vertikal, yang sangat mengherankan sikap dingin pemerintah itu dikarenakan ada tekanan politik Inggris yang menjadi sumber aliran ini, kedua tidak adanya sikap bangsa terutama legislatif ketika pemerintah diberikan tekanan politik dalam bentuk resolusi minggu yang lalu dari 40 anggota kongres Amerika Serikat karena penahanan terhadap tersangka dalam kerusuhan pengibaran bendera bintang kejora di Irian Jaya. Hal itu sangatlah berbeda dengan zaman orde lama dimana dengan sikap pemberani sang proklamator H. Soekarno yang dengan tegas mengatakan diri keluar dari Porum Bangsa-Bangsa (PBB). Sikap diplomatik yang seperti itulah yang seharusnya dipertahankan apalagi bangsa ini sudah lebih maju dan lengkap dari segi infrastruktur disegala aspek salah satunya di bidang pertahanan, tapi mungkin sekarang kita krisis rasa nasionalisme dan patriotisme, yang hanya mampu dimaknakan dalam bentuk acara seremonial seperti upacara bendera pada peringatan hari proklamasi.

Langkah maju bangsa ini terlalu sering selalu salah memaknakan arti maju. Setelah masa reformasi dideklarasikan rakyat termasuk mahasiswa sangatlah puas dengan keberhasilan itu karena mampu menggoreskan legalitas secara administratif dan opini publik tentang Hak Asasi Manusia yang tidak terbelenggu lagi dibawah pemerintahan diktator. Kepuasan itu sangatlah berlebihan yang membuat bangsa ini onani dan lupa mengkontrol kepada perjalanan dunia demokrasi terpimpin yang instrumennya merupakan hasil adopsi dari demokrasi liberal milik luar negeri yang memiliki karakter lingkungan yang jauh berbeda dengan bangsa kita. Hal itu terlihat dengan dikotomi rakyat oleh instrumen demokrasi itu sendiri.

Sifat modernisasi membuat bangsa ini menjadi lupa cita-cita luhur Ibu Pertiwi. Modernisasi bukan satu-satunya jawaban untuk produktif, dimana modernitas bukan berarti menjadi syarat untuk lembaga modern. Hal itu dicontohkan oleh jepang yang mampu mengembangkan teknologi modern dengan prilaku dan bahasa tradisionalnya. Modernitas pada dasarnya adalah mencakup kepada dimensi pola pikir tanpa menghilangkan makna nasionalisme didalamnya. Kita sering menyalah artikan makna modernitas dimana dengan pergaulan yang condong kebarat-baratan, cara berpakaian dan bahasa yang keinggrisan. Hal seperti itu kadang membentuk suatu lingkungan permanen yang akan mengeliminir peran budaya dan bahasa asli kita.

Sikap pergaulan Internasional yang membentuk bangsa kita menjadi bangsa konsumtif dan peniru tanpa mempertimbangan kemartabatannya. Kebijakan didunia pendidikan yang menjadi pilar kebangkitan bangsa ini mulai tidak menampilkan dirinya yang sebenarnya, hal itu karena segala macam perubahan sistem yang dilakukan dalam dunia pendidikan seperti penerapan semua macam kurikulum baru bukanlah hasil fungsi konservatif pendidikan kepada permasalahan yang ada yang kemudian dianalisis dari multi sektoral dan merumuskan menjadi sebuah solusi konkrit dan sistematis dengan potensi yang dimiliki, tapi cenderung dengan permasalahan itu pemerintah mengambil sikap instan dengan melakukan kunjungan kerja kepada bangsa maju yang barang tentu memiliki perbedaan dari karakter lingkungannya baik sumber daya, maupun pola pikir warganya, sehingga hal tersebut menurut saya tidak cocok untuk diterapkan dibangsa kita jika ditinjau dari karakter lingkungan yang multikultural dan multireligi. Dengan sifat lingkungan dengan budaya yang sangat heterogen menjadikan sebuah faktor yang tidak bisa kita elakkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Oemar Hamalik (2002) dalam sebuah bukunya bahwa kualitas pendidikan ditentukan pula oleh kultur Nasional, dimana pendidikan harus berdasarkan kebudayaan Nasional yang bepegang teguh pada Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Ketidakrelevanan kurikulum hasil saduran seperti CBSA dari Inggris itu dengan kehidupan sekolah kita ditunjukkan dengan adanya kualitas hasil yang tidak sesuai harapan, dimana kelihatan penerapannya hanya sebatas administratif perangkatnya, dampak yang paling fatal adalah ketidakmerataan penerapannya yang terbentur dana, potensi suber daya, lingkungan dalam hal ini infrastruktur dan sebagainya. Hal itu menjadikan bangsa kita kelihatan kehilangan martabatnya di kancah Internasional sehingga kita mulai diperolok oleh malaysia yang dulunya banyak menimba ilmu dari bangsa kita.

Kekeliruan makna modernisasi pendidikan menampilkan diri dengan praktik kapitalis di dunia pendidikan. Sikap gengsi karena dianggap kolot membuat bangsa ini menjadi tidak percaya diri dalam bergaul di internasional, Hal itu terlihat dengan kebijakan bongkar pasang kurikulum saduran luar negeri termasuk dengan adanya Sekolah Berstandar Internasional yang pada dasarnya belum layak diterapkan pada daerah-daerah salah satunya seperti Nusa Tengara Barat karena kesiapan internal daerah itu sendiri, tapi hal itu dipaksakan untuk memberikan legitimasi formal kepada publik kalau negara kita sudah modern. Hal itu menurut pemahaman saya, seharusnya dunia pendidikan ini melakukan pemerataan keberhasilan standarisasi pendidikan nasional diseluruh satuan pendidikan kemudian melanjutkan kepada penerapan standar internasional dalam konteks isi kandungannya bukan dari aspek bahasanya. Beberapa sekolah berstandar internasional di tanah air termasuk di NTB pada dasarnya tidak mencerminkan makna yang sebenarnya tapi cenderung kepada bentuk pelestarian praktik kapitalisme di dunia pendidikan kita, hal itu terlihat dengan sekolah yang berlebel SBI (Sekolah Bertaraf Internsional) dimana pada ukuran kurikulum dengan perangkatnya tidak ada beda yang signifikan, dan tingkatan materi pembelajaranya tetapi hanya pada bahasa pengantar didalam proses pembelajarannya. Secara general Sekolah Berbasis Internasional di bangsa ini harus menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar, tetapi di sekolah tempat studi kasus itu pengantar bahasa inggris hanya ditekankan pada pembukaan dan penutupan pembelajaran saja, hasil studi kasus itu membuat pemikiran kita menjadi tidak menganggap sekolah berstandar internasional menjadi sesuatu yang mewah dalam makna kualitas pembelajaran. Opini itu hanya dibentuk dengan adanya keberadaan murid yang diantar jemput dengan mobil yang bersopir pribadi dan dengan adanya fasilitas teknologi seperti laptop oleh orang tuanya, hal itu memang menjadi sebuah persyaratan masuk dimana dengan adanya interview oleh pihak keluarga untuk menyanggupi dalam hal pengadaan fasilitas tersebut dengan segala dalih-dalihnya. Potensi yang tidaklah go internasional dibanding sekolah yang lain hal dipertontonkan ketika ada olipiade bahasa inggris di tingkat provinsi yang terbukti dimenangkan oleh sekolah yang tidak berlabel SBI.

Kekeliruan memaknakan modernisasi pendidikan itu adalah kekeliruan besar bangsa kita. Teori depedensi seperti Gunder Frank (1996) yang sangat menentang sistem pendidikan dewasa ini yang selalu menjadi alat pelestarian sistem masyarakat kapitalis dimana dengan berperannya pendidikan yang berfungsi melestarikan ketergantungan bangsa-bangsa berkembang kepada bangsa maju seperti Amerika Serikat. Kemudian menurut Paulo Freire (1999) memberikan penegasan bahwa pendidikan itu pada dasarnya suatu proses pembebasan segala aspek bukan malah peluntur budaya bangsa, kemudian pernyataan itu juga diperkuat oleh Dr. Mulyani Sumantra (2001) dimana kurikulum dalam dunia pendidikan merupakan ”cultur reproduction” dimana pendidikan merupakan refleksi kebudayaan bangsa untuk menumbuhkan generasi baru. Kebijakan pemerintahan sekarang selalu menampilkan pola-pola dekonstrutif dalam dunia pendidikan dengan sikap ceroboh dan malas yang sudah menjadi momok para legislator.

Apa Dampak Negatif Dari Kenyataan Dunia Pendidikan Sekarang?

Penerapan sekolah berstandar internasional dengan substansi isi yang sama dengan sekolah lain tapi penekanannya hanya kepada aspek bahasa menurut saya sudah melanggar sumpah pemuda yang mengikrarkan satu bahasa yaitu bahasa indonesia yang merupakan mukjizat Tuhan yang telah mampu menyatukan bangsa-bangsa di nusantara yang sangatlah beragam dari segi bahasa dan budaya, kebijakan itu juga memperlihatkan inkonsistensinya pemerintah dengan regulasi konstitusi yang dibentuk seperti Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB VII Pasal 33 ayat satu yang menekankan tentang penggunaan bahasa indonesia sebagi bahasa pengantar pendidikan di seluruh Tanah Air. Inkonsistensi itu menumbuhkan rumpun penjajah asing di tanah air kita untuk membentuk rekonsiliasi model penjajahan yang lebih bermartabat.

Rusaknya nilai dunia pendidikan karena kebijakan stachholder yang tak berpihak dan karena budaya perpolitikan dibangsa kita. Image dunia pendidikan yang selalu mementingkan refrensi negara luar tanpa menoleh potensi didalam tubuhnya membuat banyak masyarakat bertanya dan juga diberikan cap bodoh oleh bangsa lain, budaya tidak menghargai potensi sendiri merupakan budaya yang tidak tabu lagi bagi kita, salah satu contoh dengan kecendrungan BJ Habibie yang lebih untuk mengembangkan potensinya untuk negara jerman dalam ilmu pesawat memberikan kita tontonan yang sangatlah ironis dengan keadaan penerbangan bangsa kita yang semakin terbentur masalah teknis mekanik pesawatnya. Sekolah berstandar internasional yang menekankan bahasa inggris, bukan kepada substansi isi pembelajaran menjadi peletak eksistensinya menuai kritikan pahit dari para pakar di Indonesia termasuk salah seorang Profesor dari Universitas Negeri Malang yang menyimpulkan sekolah SBI itu menjadi Sekolah Babu Internasional.

Bahasa adalah salah satu resep penting dalam pembentukan watak dan budaya manusia. Dra. Kartini (2001) psikolog dalam salah satu bukunya menyatakan bahwa setiap manusia itu harus hidup dalam satu lingkungan fisik maupun milieu psikis, sehingga manusia dengan lingkungannya adalah satu kesatuan dalam hubungan timbal balik dan pengaruh mempengaruhi yang dibudayakan, maka dari itu muncul pula kebudayaan manusia. Dimana lingkungan melieu psikis dipengaruhi oleh diri manusia itu sendiri karena adanya sistem pengharusan, larangan dan tekanan serta harapan yang dibentuknya. Bahasa merupakan instrumen dari pikiran, khususnya untuk mengembangkan pikiran. Pembendaharaan kata-kata itu merupakan bentuk-bentuk pikiran, baik yang konkrit maupun pengalaman-pengalaman manusia dalam bentuk onderwing serta wujud bahasa yaitu berwujud kata-kata, suara dan kalimat. Maka bahasa itu menjadi syarat mutlak bagi pengungkapan pikiran, pertukaran pendapat, dan kontak antar manusia khususnya bagi pendidikan dan pengajaran serta pengoperan budaya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Dimana bahasa juga memiliki makna magis yaitu aktivitas pengungkapan rumus-rumus penyumpahan dan penyihiran terhadap suatu suatu kondisi atau objek. Dengan hal itu maka menurut saya penekanan wajib bahasa inggris kepada siswa pada sekolah berstandar internasional cenderung akan lebih membentuk karakter kapitalis dan budaya praktisnya dalam bangsa kita yang secara jelas bertentangan dengan ideologi yang kita anut. Yang paling penting adalah bangsa kita dalam hal ini dunia pendidikan sudah terjajah oleh bangsa lain dengan pola yang lebih intelektual tapi sangat kronis karena menyerang ideologi bangsa kita yang tercinta, pemerintah belum berani mengambil sikap yang jelas dalam sebuah kebijakan hal itu dikarenakan penekanan politis yang membuat tubuh bangsa ini kehilangan imun tubuhnya.

Penutup

Harapan bangsa kita termasuk tentang pendidikan yang termuat dalam bentuk undang-undang dasar 1945 menjadi landasan hukum dalam penyelenggaraan pendidikan dibangsa ini. Pemerintah menjadikan pendidikan sebagai orientasi penting dalam kepemerintahan demi meraih cita-cita para pejuang dan melaksanakan amanat konstitusi serta yang terpenting adalah demi kemajuan bangsa kita. Langkah yuridispun dilakukan untuk menjadi payung hukum pelaksanaannya dan melakukan langkah aksi dengan pengembangan sumber daya dan perangkat pembelajaran yang disempurnakan. Langkah penyempurnaan ini sering tidak melihat realita sekitar dengan cara melakukan saduran punya bangsa lain, hal itupun membuahkan hasil sekolah berstandar internasional yang dalam pelaksanaannya hanya sebatas penggunaan bahasa pengantar menggunakan bahasa inggris bukan kepada standar isinya. Perlu diupayakan adanya suatu pergerakan baru untuk melakukan akselerasi reformasi dunia pendidikan di Indonesia melalui perubahan sistemik kepemerintahan yang mampu berdiplamasi dengan sehat tanpa menghilangkan ideologi yang merupakan cita-cita luhur pejuang kemerdekaan dan perlu adanya keberanian dan ketegasan pemerintah kepada pihak asing yang mencoba membentuk kekuatan baru yang sekiranya akan membuat disintergrasi bangsa kita.

Bahan Rujukan

Anonim. 2003. UU. No 20 tentang SISDIKNAS. Jakarta. Depatemen Pendidikan

Frank, Gunder. 1996. Modern Education. New York. Book Company.

Freire, Paulo. 1999. Biologi Teachers Hand Book. Sage University

Hamalik, Oemar. 2002. Prinsip-Prinsip Budaya Indonesia. Jakarta. Bhratara Jakarta

Kartini, K. 2001. Psikologi Anak. Jakarta. Bhratara Jakarta

Nasution, S. 1998. Asas Kurikulum. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumantra, Mulyani. 2001. Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Bhratara Jakarta

Yusup, Maftuchah. 1997. Pengembangan Kurikulum. Jakarta: IKIP Jakarta.

Pendekatan Konstruktivisme

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

(Pembelajaran Kooperatif)

Struktur Pembelajaran

Tahap Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran

Metode

1. Berpikir (Thinking)

1) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran.

2) Guru meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban pertanyaan tersebut.

3) Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan sesuatu bukan bagian berpikir.

Tanya jawab

2. Berpasangan (Pairing)

1) Guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh dari berpikir.

2) Interaksi dalam diskusi tersebut diharapkan dapat menyatukan jawaban terhadap pertanyaan atau masalah yang diberikan guru.

Diskusi

3. Berbagi (Sharing)

1) Guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas atas kesimpulan jawaban dari hasil Pairing.

2) Untuk efektifnya Guru berkeliling dalam ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan.

Diskusi


RENCANA PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)

Mata Pelajaran : Biologi

Kelas/Semester : XII / 1

Materi Pokok : Reproduksi Sel

Standar Kompetensi : Memahami konsep dasar dan prinsip-prinsip hereditas serta implikasinya pada salingtemas.

Alokasi Waktu : 1 x 40menit

A. Kompetensi Dasar : Menjelaskan keterkaitan antara proses pembelahan mitosis dan meiosis dengan pewarisan sifat.

B. Tujuan Pembelajaran

  1. Memahami proses pembelahan mitosis
  2. Memahani proses pembelahan meiosis
  3. Mampu menjelaskan perbedaan Pembelahan Mitosis dan Meiosis

C. Materi Ajar : Pembelahan Mitosis dan Meiosis

D. Sumber dan Sarana

1. Sumber : Buku paket SMA kelas XII dan Internet

2. Media : Visual Pembelahan Mitosis dan Meiosis

E. Kegiatan Pembelajaran

1. Model pembelajaran : Model Kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share)

2. Pendekatan Pembelajaran : Student Centered Learning

3. Metode Pembelajaran : Tanya jawab, ceramah, diskusi.

4. Pelaksanaan Pembelajaran

I. Pendahuluan (7 menit)

1. Apersepsi : Mengingat kembali materi tentang Mitosis dan Meiosis. dengan metode tanya jawab.

2. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

3. Motivasi : Guru dapat memberikan penjelasan singkat mengenai fenomena alam yang terkait dengan materi, dalam bentuk pertanyaan singkat untuk membangkitkan minat dan rasa penasaran siswa.

4. Mengatur setting ruang belajar berbentuk ”U” untuk mempersiapkan siswa dalam berpartisipasi.

II. Kegiatan Inti (28 Menit)

1. Guru mengarahkan fokus diskusi dengan menyampaikan strategi diskusi kelas yang akan digunakan yaitu TPS serta menjelaskan aturan-aturan yang mendasarinya.

2. Model pembelajaran diskusi kelas dengan strategi TPS memberikan waktu yang lebih banyak bagi siswa untuk berfikir, diskusi berpasangan dan berbagi dalam diskusi kelas.

3. Langkah-langkahnya :

a. Tahap Think (berpikir): Guru akan memberikan pertanyaan atau isu terkait dengan tujuan pembelajaran dan siswa diminta untuk memikirkan secara mandiri.

b. Tahap Phare (berpasangan): Guru menginstruksikan siswa agar berpasangan dengan teman sebelahnya dan mendiskusikan isu / pertanyaan tersebut.

c. Tahap Share (berbagi): Guru menginstruksikan siswa agar berdiskusi secara klasikal, di mana dalam diskusi kelas ini guru akan menunjuk siswa yang akan menyampaiakan idenya dengan terlebih dahulu harus mengangkat tangan atau ditentukan berdasarkan kreatifitas guru.

d. Hasil diskusi yang harus dicatat dalam selembar kertas yang akan dikumpulkan pada akhir diskusi.

e. Guru memonitor interaksi siswa, megajukan pertanyaan, mendengarkan gagasan siswa, menanggapi gagasan, melaksanakan aturan-aturan dasar, membuat catatan diskusi, menyampaikan gagasan sendiri (dilakukan apabila jawaban pertanyaan dari para siswa tidak sesuai dengan apa yang diinginkan).

f. Guru menutup diskusi dengan merangkum materi yang telah didiskusikan dan mengungkapkan makna diskusi yang telah diselenggarakan dengan cara mengajukan petanyaan awal seperti “Hal penting apakah yang dapat kamu peroleh dari diskusi kita kali ini?” Kegiatan diskusi kelas mengajarkan siswa melakukan berfikir tingkat tinggi dan keterampilan-keterampilan menghargai pendapat orang lain dan keterampilan sosial yang lainnya.

g. Guru mengadakan tes yang dikerjakan per individu untuk mengecek pemahaman siswa dan sebagai masukan nilai individu.

h. Guru meminta siswa untuk mereviu (memeriksa) proses diskusi yang telah dilakukan. (Tahap 5. Melakukan tanya jawab singkat tentang proses diskusi). Dengan cara menggunakan pertanyaan seperti :

1) Bagaimana pendapatmu mengenai diskusi kali ini?

2) Apakah kamu memberikan kesempatan kepada tiap orang untuk berpartisipasi?

3) Apakah kamu mendengarkan gagasan temanmu?

4) Apakah kalian menemui jalan buntu selama diskusi?

5) Apa yang akan kalian lakukan supaya diskusi kita di lain kesempatan dapat berjalan lebih lancar?

III. Penutup (5 menit)

1. Guru memberi tugas kepada siswa untuk mencari animasi tahap-tahap pembelahan Miotosis dan Meiosis di internet melalui alamat URL sebagai berikut :

· http://www.biology.arizona.edu/Cell_bio/tutorials/cell_cycle/cells3.html

· http://www.davidson.edu/academic/biology/courses/links.html#Genetics)

· http://www.biology.arizona.edu/ cell_BIO/tutorials/cells/html

· http://www.biochemweb.org

2. Penilaian

· Penilaian Kognitif : Tes, catatan hasil diskusi kelas, frekuensi keaktifan dalam bertanya, menjawab, dan mengemukakan ide atau pendapat.

· Penilaian Afektif : Pengamatan terhadap keterampilan kooperatif yang dilakukan masing-masing pasangan kelompok serta keterampilan sosial dalam diskusi kelas.

Model Pembelajaran Kooperatif

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

(COOPERATIVE LEARNING)

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang individual, maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk beriteraksi dengan sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, latar belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Dari adanya perbedaan, manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan), saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Perbedaan antar manusia yang tidak terkelola secara baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antarsesamanya. Agar manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalah pahaman, maka diperlukan interaksi yang silih asuh (saling tenggang rasa).

Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan gender, suku, agama, dan lain-lain. Dari karakter yang heterogen tersebut, timbul suatu pertanyaan bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain? Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut? Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar di dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran produktif? Bagaimana guru dapat mengorganisasikan kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat? Jawabannya adalah melalui pembelajaran kooperatif. Nur (2005) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggungjawab. Model pembelajaran kooperatif membantu siswa belajar setiap mata pelajaran, mulai dari keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Pendapat ini sejalan dengan Abdurrahman dan Bintoro (2000 ) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata. Untuk menciptakan suasana belajar kooperatif bukan suatu pekerjaan yang mudah. Untuk menciptakan suasana belajar tersebut diperlukan pemahaman filosofis dan keilmuan yang cukup disertai dedikasi yang tinggi serta latihan yang cukup pula.

Terkait dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa aspek pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dan implikasinya dalam pembelajaran. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah peningkatan pemehaman terhadap model pembelajaran kooperatif dan implikasinya dalam pembelajaran sebagai usaha meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar.

B. Pembahasan

Posamentier (1999) secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau belajar secara kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka sebuah atau beberapa tugas. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme. Menurut Slavin (dalam Krismanto, 2003) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya (teacher centered) ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Terkait dengan model pembelajaran ini, Ismail (2003) menyebutkan (enam) langkah dalam pembelajaran kooperatif, yakni:

Fase

Indikator

Tingkah Laku Guru

1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar

2

Menyampaikan informasi

Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan

3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

4

Membimbing kelompok bekerja belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.

5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok

Lima model pembelajaran tim siswa telah dikembangkan dan diteliti secara luas, terdapat tiga model pembelajaran kooperatif umum yang cocok untuk hampir seluruh mata pelajaran dan tingkat kelas: Students Teams Achievement Division (STAD), Teams-Games-Tournament (TGT), dan Jigsaw. Dua yang lain merupakan kurikulum koprehensif yang dirancang untuk digunakan pada mata pelajaran tertentu pada tingkat kelas tertentu: Cooperative Reading and Composition (CIRC) untuk pengajaran membaca dan menulis di kelas II - VIII dan Team Accelerated Instruction (TAI) untuk matematika pada Kelas III - VI. Model-model ini seluruhnya menerapkan penghargaan tim, tanggungjawab individual, dan kesempatan yang sama untuk berhasil, namun dilakukan dengan cara-cara yang berbeda.

1. Pembelajaran Kooperatif dengan Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, sehingga cocok bagi guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.

Menurut Slavin dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja didalam kelompok mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai materi pelajaran tersebut. Pada akhirnya siswa diberikan tes yang mana pada saat tes ini mereka tidak dapat saling membantu. Poin setiap anggota tim ini selanjutnya dijumlahkan untuk mendapat skor kelompok. Tim yang mencapai kriteria tertentu diberikan sertifikat atau ganjaran lain.

Dalam pembelajaran kooperatif STAD, materi pembelajaran dirancang untuk pembelajaran kelompok. Dengan menggunakan LKS atau perangkat pembelajaran yang lain, siswa bekerja secara bersama-sama untuk menyelesaikan materi. Siswa saling membantu satu sama lain untuk memahami materi pelajaran, sehingga setiap anggota kelompok dapat memahami materi pelajaran secara tuntas. Menurut Slavin STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu: (1) presentasi Kelas, (2) Kelompok, (3) Kuis (tes), (4) Skor peningkatan individual, (5) Penghargaan kelompok.

Ide utama di balik STAD adalah untuk memotivasi siswa saling memberi semangat dan membantu dalam menuntaskan keterampilan-keterampilan yang dipresentasikan guru. Apabila siswa menginginkan tim mereka mendapatkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu tim dalam mempelajari bahan ajar tersebut. Mereka harus memberi semangat teman satu timnya yang melakukan yang terbaik, menyatakan norma bahwa belajar itu penting, bermamfaat, dan menyenangkan. Siswa bekerja sama setelah guru mempresentasikan pelajaran. Mereka dapat bekerja berpasangan dengan cara membandingkan jawaban-jawabannya, mendiskusikan perbedaan yang ada, dan saling membantu satu sama lain saat menghadapi jalan buntu. Mereka dapat mendiskuskan. Pendekatan, yang dipakai untuk memecahkan masalah, atau mereka dapat saling memberikan kuis tentang materi yang sedang mereka pelajari. Mereka mengajar teman timnya dan mengases kekuatan dan kelemahan mereka untuk membantu agar mereka berhasil dalam kuis tersebut.

Meskipun siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling membantu dalam mengerjakan kuis. Setiap siswa harus menguasai materi tersebut. Tanggung jawab individual ini memotivasi siswa melakukan sebuah pekerjaan tutorial dengan baik dan saling menjelaskan satu sama lain, mengingat satu-satunya cara tim tersebut berhasil jika seluruh anggota tim telah menuntaskan informasi atau keterampilan yang sedang dipelajarinya. Karena skor tim didasarkan pada peningkatan diatas skor mereka yang lalu (kesempatan yang sama untuk berhasil), semua siswa memiliki peluang menjadi bintang pada suatu minggu tertentu, dengan cara memperoleh skor baik diatas skor terdahulu atau dengan mendapatkan skor sempurna. Skor sempurna selalu menghasilkan poin maksimum tidak memandang berapapun rata-rata skor terdahulu siswa.

2. Teams-Games-Tournaments (TGT)

TGT adalah teknik pembelajaran yang sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain yang setara dalam kinerja

akademik mereka yang lalu.

Pada intinya model kooperatif TGT terdiri dari empat kegiatan yakni Persentase Kelas, Tim, Permainan, dan Turnamen. Langkah-langkah metode kooperatif TGT sebagai berikut:

1) Langkah 1. Presentasi Kelas: Guru mempersiapkan bahan ajar yang dibutuhkan: Dua LKS untuk tiap tim, dua lembar jawaban untuk tiap tim dan memperkenalkan materi (bahan ajar) melalui persentase kelas, biasanya menggunakan pengajaran langsung atau ceramah. Siswa mengerjakan LKS dalam tim mereka.

2) Langkah 2. Tim: Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 4 5 orang, pembagian kelompok dilakukan didasarkan pada berbagai pertimbangan-pertimbangan agar diperoleh kelompok yang heterogen. Setiap kelompok siswa dalam suatu tim mengerjakan LKS untuk menuntaskan bahan ajar yang telah diterimanya.

3) Langkah 3. Permainan: Guru mempersiapkan jenis permainan akademik yang disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengetes pengetahuan siswa yang diperoleh dari persentase kelas dan latihan tim. Permainan dimainkan pada meja-meja yang berisi tiga siswa, tiap siswa mewakili tim yang berbeda.

4) Langkah 4. Turnamen: Guru mempersiapkan bahan turnamen yang dibutuhkan: Lembar penempatan meja turnamen, dengan penempatan meja turnamen yang telah diisi. Satu kopi lembar Permainan dan kunci Lembar Permainan untuk tiap meja turnamen, Satu lembar skor permainan, satu tumpuk kartu-kartu bernomor yang sesuai dengan nomor pertanyaan-pertanyaan pada lembar permainan untuk tiap meja.

Aturan Permainan :

§ Pemain pertama mengambil kartu bernomor dan menemukan pertanyaan yang sesuai dengan lembar permainan.

§ Membaca pertanyaan tersebut dengan keras. Memberi Jawaban.

§ Penantang Pertama: Setuju dengan pembaca atau menantang dan memberi jawaban, demikian juga penantang kedua.

§ Mencocokkan jawaban.

§ Pemain yang menjawab benar akan menyimpan kartu tersebut. Apabila ada penantang yang menjawab salah ia akan mengembalikan kartu yang dimenangkan sebelumnya (bila ada) ke tumpukan kartu. Apabila tidak ada satupun jawaban yang benar, kartu tersebut dikembalikkan ke tumpukan. Langkah ini dilakukan sampai akhir pelajaran, atau tumpukan kartu telah habis.

Pada akhir turnamen hitunglah banyaknya kartu yang diperoleh tiap siswa, siswa yang memperoleh skor tertinggi mendapat poin 60, tingkatan berikutnya masing-masing 50, 40 dan 20.

5) Langkah 5. Penghargaan Tim: Guru menghitung skor tim dan siapkan sertifikat tim atau tuliskan hasil turnamen yang diumumkan pada papan buletin. (Kriteria rata-rata tim Tim baik = 40, tim hebat = 45, tim super = 50).

3. Metode Jigsaw

Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawannya dari Universitas Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawannya. Melalui metode Jigsaw kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri dari 5 atau 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan tiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut. Para anggota dari berbagai tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam itu disebut kelompok pakar (expert group). Selanjutnya, para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar. Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam home teams , para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari.

Persiapan Untuk Menggunakan Jigsaw II

Bahan Ajar. Sebelum pelajaran dimulai, buat lembar ahli dan lembar kuis untuk tiap unit bahan ajar. Untuk mengembangkan bahan ajar untuk Jigsaw II ikuti langkah-langkah berikut ini:

  1. Pilih beberapa bab, cerita, atau unit-unit lain. Tiap-tiap bahan sebaiknya dapat mencakup dua sampai tiga unit pertemuan
  2. Buatlah lembar ahli untuk setiap unit. Lembar ini memandu siswa untuk berkonsentrasi pada saat mereka membaca, dan memandu kelompok ahli yang ditunjuk untuk mendalami bahan bacaan tertentu.
  3. Buatlah kuis untuk setiap unit. Kuis tersebut seharusnya terdiri dari paling sedikit delapan pertanyaan, dua untuk setiap topik, atau sebuah kelipatan dari empat (misalnya 12, 16, 20), untuk membuat banyak pertanyaan yang sama untuk setiap topik.
  4. Menggunakan kerangka diskusi (pilihan). Suatu kerangka diskusi untuk tiap topik dapat membantu memandu diskusi pada kelompok ahli.

Menempatkan siswa dalam tim. Tempatkan siswa ke alam tim-tim heterogen yang beranggota empat sampai lima.

Menempatkan Siswa dalam Kelompok Ahli. Anda dapat menempatkan siswa ke dalam kelompok ahli secara acak, hanya dengan menbagi peran-peran secara acak di dalam setiap tim.

Penentuan Skor Dasar Awal. Skor dasar mewakili skor rata siswa pada kuis yang lalu.

Jadwal Kegiatan

Jigsaw II terdiri dari siklus teratur kegiatan pengajaran sebagai berikut: MEMBACA : Siswa menerima topik-topik ahli dan membaca bahan yang ditugaskan untuk mencari informasi.

DISKUSI KELOMPOK AHLI : Siswa dengan topik ahli yang sama bertemu mendiskusikan informasi tersebut dalam kelompok-kelompok ahli.

LAPORAN TIM : Para ahli kembali ke tim asal mereka untuk mengajarkan topick-topok mereka kepada teman satu tim mereka.

KUIS : Siswa mengerjakan kuis individual yang mencakup seluruh topik. PENGHARGAAN TIM : Skor tim dihitung seperti pada STAD.

Membaca

Waktu: ½ - 1 pertemuan (atau ditugaskan sebagai pekerjaan rumah)

Ide Utama: Siswa menerima topik-topik ahli dan membaca bahan yang ditugaskan untuk mencari informasi tentang topik-topik mereka.

Bahan-bahan yang dibutuhkan : Satu lembar ahli untuk tiap siswa, yang terdiri dari empat topik ahli.untuk setiap siswa.

Diskusi Kelompok Ahli

Waktu : Setengah waktu dari satu pertemuan kelas.

Ide Utama : Siswa dengan topik ahli yang sama berdiskusi dalam sebuah kelompok.

Bahan yang dibutuhkan : Lembar ahli dan bacaan untuk setiap siswa (pilihan). Kerangka diskusi untuk setiap siswa tentang topik siswa tersebut.

  • Mintalah seluruh siswa dengan topik ahli 1 berkumpul pada sebuah meja, seluruh siswa dengan topik ahli 2 berkumpul pada meja lain, dan seterusnya.
  • Tunjuk seorang pemimpin diskusi untuk setiap kelompok.
  • Beri waktu sekitar 20 menit pada kelompok ahli mendiskusikan topik-topik mereka. Ketika kelompok ahli sedang bekerja, guru seharusnya berkeliling kelas, bergantian mendatangi dan memfasilitasi setiap kelompok.

Laporan Tim

Waktu : setengah waktu pertemuan kelas

Ide Utama : Para Ahli kembali ke tim asalnya untuk mengajarkan topik-topiknya kepada teman satu timnya.

  • Para ahli seharusnya kembali ke timnya untuk mengajarkan topik-topik itu kepada teman satu timnya.

Test

Waktu : Setengah waktu pertemuan kelas.

Ide Utama : Siswa diberi kuis.

Bahan yang dibutuhkan : Satu kopi lembar kuis untuk setiap siswa.

Penghargaan Tim

Skoring untuk Jigsaw II adalah meliputi skor dasar, poin peningkatan, dan prosedur penskoran tim. Yang berupa sertifikat, lembar berita kelas, papan bulletin dan / atau penghargaan lain digunakan untuk menghargai tim berkinerja tinggi.

4. Model Kooperatif Informal

Diantara bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif yang paling tua dan luas digunakan adalah diskusi kelompok dan proyek kelompok, kelompok-kelompok diskusi adalah memastikan setiap anggota berperan serta dalam kegiatan kelompok tidak didominasi oleh seorang anggota saja, setiap kelompok memilih seorang pemimpin yang mampu mengorganisasikan kelompok mereka, Proyek-proyek kelompok yang baik adalah sama dengan prinsip dari diskusi yang baik, setiap kelompok menulis laporan yang diinginkan oleh guru.

Spencer Kagan (1992) telah mendeskripsikan banyak struktur informal untuk pengembangan pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan dalam pelajaran sehari-hari, sebagai bagian dari struktur tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Diskusi kelompok spontan.
  2. Number Head Together (NHT), pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok, ciri khasnya adalah hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya, tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok itu. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa.

Menurut Trianto (2007) dalam NHT pengajuan pertanyaan menggnakan empat fase sebagai sintaks yaitu: (1) penomoran; guru membagi siswa ke dalam kelompok 3-5 orang dan setiap orang diberi nomor anatara 1-5, (2)mengajukan pertanyaan; guru mengajukan pertanyaan pada siswa, (3) berfikir bersama; siswa menyatukan jawaban atas pertanyaan guru, dan (4)menjawab; guru memanggil suatu nomor tertentu dan siswa yang nomornya sesuai harus menjawab.

  1. Think-Pair-Share, dikembangkan oleh Frank Lyman (Universitas Maryland) pada saat guru mempresentasikan sebuah pelajaran di kelas, siswa duduk berpasangan di dalam tim mereka. Siswa diminta untuk think (memikirkan) sendiri jawaban pertanyaan itu, kemudian pair (berpasangan) dengan pasangan berdiskusi untuk mencapai konsensus atas jawaban tersebut. Akhirnya guru meminta siswa untuk share (berbagi) jawaban yang mereka sepakati itu kepada semua siswa di kelas.

Mencermati model pembelajaran kooperatif ini, kelebihan yang bisa

dikemukakan antara lain:

- Melatih siswa mengungkapkan atau menyampaikan gagasan/idenya.

- Melatih siswa untuk menghargai pendapat atau gagasan orang lain.

- Menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial.

Sedangkan kekurangannya antara lain:

- Kadang hanya beberapa siswa yang aktif dalam kelompok.

- Kendala teknis, misalnya masalah tempat duduk kadang sulit atau kurang mendukung untuk diatur kegiatan kelompok.

- Agak memakan waktu banyak

5. Investigasi Kelompok (group investigation).

Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif dan yang paling komplek dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini diterapkan dan dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Pendekatan ini membutuhkan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lain yang lebih berpusat kepada guru (Trianto, 2007).

Sharan (dalam Trianto, 2007) membagi langkah-langkah pelaksanaan model investigasi menjadi 6 fase yaitu :

a. Memilih Topik

Siswa memilih sub topik tertentu dalam suatu daerah masalah kemudian siswa diorganisasikan menjadi 2-6 anggota tiap kelompok yang bersifat heterogen

b. Perencanaan Kooperatif

Siswa dan guru merencanakan prosedur pembelajaran sesuai dengan topik yang sudah dipilih.

c. Implementasi

Siswa menerapkan rencana yang sudah mereka kembangkan dalam tahap kedua tadi, di mana kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda baik di dalam maupun di luar sekolah.

d. Analisis dan Sistesis

Siswa menganalisis dan mensistesis informasi yang diperoleh pada ketiga diatas dan merencanakan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas.

e. Presentasi Hasil

Semua kelompok menyajikan hasil pendidikannya dengan cara yang menarik kepada seluruh kelas dengan tujuan agar siswa yang lain juga terlibat dalam pekerjaan kelompok tersebut.

f. Evaluasi

Siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kerja kelas sebagai suatu keseluruhan baik dalam penilaian individu maupun kelompok.

C. Penutup

Model pembelajaran kooperatif yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat perbedaan yang begitu menonjol, metode TGT lebih kepada penghargaan tim, didasarkan pada hasil turnamen, sedangkan jigsaw lebih kepada bagaimana kemampuan seorang pemimpin kelompok (kelompok ahli) dalam mamanager kelompoknya.

Pembelajaran kooperatif menuntut guru untuk berperan relatif berbeda dari pembelajaran tradisional. Berbagai peran guru dalam pembelajaran kooperatif tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) merumuskan tujuan pembelajaran, (2) menentukan jumlah kelompok dalam kelompok belajar, (3) menentukan tempat duduk siswa, (4) merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif, (5) menentukan peran serta untuk menunjang saling ketergantungan positif, (6) menjelaskan tugas akademik, (7) menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama, (8) menyusun akuntabilitas individual, (9) menyusun kerja sama antar kelompok, (10) menjelaskan kriteria keberhasilan, (11) menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan, (12) memantau perilaku siswa, (13) memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas, (14) melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan bekerja sama, (15) menutup pelajaran, (16) Menilai kerja sama antar anggota kelompok.

Meskipun kerja sama merupakan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, untuk mengaktualisasikan konsep tersebut ke dalam suatu bentuk perencanaan pembelajaran atau program satuan pelajaran bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan peran guru dan siswa yang optimal untuk mewujudkan suatu pembelajaran yang benar-benar berbasis kerja sama atau gotong royong.


Daftar Rujukan

Krismanto, 2003. Beberapa Teknik, Model dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPG Matematika

Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Nur, Muhammad 2005. Pembelajaran Kooperatif, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penjamin Mutu Jawa Timur.

Tim MKPBM, 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi konstruktivistik; konsep, landasan dan implementasi. Jakarta: Prestasi Pustakan Publisher.

Posamentier. Alfred S. dan Stepelman. Jay. 1999. Teaching Secondary Methematics: Tecahing and Enrichement Units. New Jersey: Prantice Hall.

Widdiharto, Rahmadi. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: P3G Matematika