Jumat, 12 Desember 2008

Pendidikan karakter dan pembelajaran visioner


PENDIDIKAN KARAKTER DAN PEMBELAJARAN VISIONER SEBAGAI RESOLUSI PENDIDIKAN NASIONAL MENUJU BANGSA YANG MAJU DAN BERMARTABAT DI ERA GLOBALISASI (ABAD 21)1

Oleh : Agus Muliadi2

Abstrak: Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan hukum yang jelas dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila". Pelaksanaan sistem pendidikan Nasional diharapkan mampu mengabadikan diri demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa menuju bangsa yang maju dan bermartabat. Amanat konstitusi tentang pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa harus dijadikan pijakan atau landasan dalam perumusan maupun pelaksanaan pendidikan Nasional. Dalam dunia pendidikan Nasional Belakangan ini semakin bermunculan sekolah-sekolah yang bercirikan elitis, esklusif serta terpisah dari lingkungan masyarakat yang menjadi wadah sebenarnya. Teralineanisasinya pendidikan Nasional dari sosiokultur (masyarakat) tidak sesuai dengan nilai yang menjiwainya yaitu nilai-nilai Pancasila. Masalah pendidikan dari zaman orde lama hingga sekarang adalah pemerataan, akutabilitas, pendanaan, profesionalisme dan relevansi. Untuk menjalani abad ke-21 bangsa memiliki rencana yang tersurat Secara sederhana dalam Visi Nusantara pada abad ke-21 yaitu "Menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society)". Untuk merealisasi visi Nusantara 21 tersebut maka pendidikan Nasional harus melakukan pembenahan sistem. Menghadapi abad ke-21 pendidikan Nasional harus menerapkan sistem kolaboratif antara pembelajaran visioner dengan pendidikan pada pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup). Sistem kolaboratif tersebut akan menghasilkan perubahan dalam pendidikan Nasional dalam pelaksanaannya sesuai dengan 4 pilar pendidikan yaitu Learning to know (Belajar untuk menguasai pengetahuan), (2) Learning to do (Belajar untuk menguasai keterampilan), (3) Learning to be (Belajar untuk mengembangkan diri), (4) Learning to live together (Belajar untuk hidup bermasyarakat).

Kata kunci: pendidikan karakter, pembelajaran visioner, pendidikan nasional, maju, martabat, globalisasi.





Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem Pendidikan yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan regulasi hukum dan filsafat hidup bangsa yaitu Pancasila. Pendidikan Nasional diharapkan mampu merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia menuju bangsa yang maju dan bermartabat. Amanat konstitusi kepada Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah “usang”, tapi belum mampu terealisasi.

Upaya mencerdaskan bangsa yang menjadi amanat konstitusi telah berulang kali dirumuskan secara yuridis yang ditengarai oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, namun sampai saat ini belum menghasilkan rumusan konkrit tentang sistem Pendidikan Nasional yang akan dijadikan acuan dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional.

Amanat mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mampu ditempuh melalui sistem Pendidikan yang layak. Pendidikan memberikan kontribusi melalui pengembangan kapasitas dan integritas secara terus menerus setiap insan Indonesia. Pengembangan yang dimaksud harus melalui peningkatan kualitas fisik, pikir dan kalbu agar mampu memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan, menciptakan dan memanfaatkan peluang, mengidentifikasi masalah serta menemukan alternatif solusi sehingga menjadi bangsa yang maju dan bermartabat. Keadaan pendidikan bangsa kita memperlihatkan muka yang berbeda mengenai kemartabatan bangsa, hal itu terlihat dengan adanya fenomena keberhasilan pendidikan Nasional yang hanya dicanangkan melalui ketuntasan kognitif anak.

Pemamfaatan teknologi informasi dalam dunia pendidikan mendapatkan tantangan demoralisasi terkait dengan realita yang cukup mengejutkan. Penggunaan teknologi informasi semacam internet dihantui dengan munculnya forum berbau pornografi pada yang semakin menaikan peringkatnya dengan konsentrasi massa 13.2%, hal itu sangat ironis dengan pemamfaatan sebagai forum diskusi yang hanya 5.9%. Kenyataan tersebut mengandung arti bahwa jumlah rata-rata massa yang terkonsentrasi dalam setiap forum pornografi cukup besar di bandingkan dengan forum-forum non-pornografi. Secara psikologis, hal ini menunjukan bahwa cukup banyak manusia Indonesia yang berharap untuk memperoleh hiburan dari forum bernuansa pornografi ini. Kebiasaan tersebut akan memunculkan milieu psikis manusia Indonesia yang semakin diperbudak nafsu dan mengesampingkan sisi kognitifnya, hal ini akan menimbulkan sikap manusia yang cenderung amoral dan semakin jauh dari nilai luhur Pancasila dan Agama.

Realita tersebut memberikan gambaran bahwa abad ke-21 akan membawa dampak secara psikologis kepada bangsa kita yang belum memiliki kesiapan dalam menghadapinya baik dari sisi kognitif maupun sisi moral. Pendidikan yang masih mengedepankan ketercapaian sisi kognitif semata tanpa ada target ketercapaian dalam hal pembentukan karakter kebangsaan (nation dan character building). Dengan hal tersebut maka penting adanya penerapan pendidikan karakter yang membentuk kamampuan mentalitas dan pembelajaran visioner yang membentuk tingkatan kognitif yang sesuai dengan tuntutan abad ke-21 yang sarat dengan penguasaan IPTEK.

Tulisan ini akan membahas tentang Pendidikan Nasional Indonesia, Permasalahan Pendidikan Nasional, Visi Nusantara Di Era Globalisasi (Abad 21), dan Resolusi Pendidikan Nasional (Pendidikan Karakter dan Pembelajaran Visioner).

Pendidikan Nasional Indonesia

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang khusus ditujukan kepada warga negara (nation), nation dalam arti bangsa, bernegara dan berdaulat. Maka eksistensi warga negara (nation) adalah turut serta mewujudkan apa yang menjadi cita-cita sebagai warga negara dan cita-cita bangsa dan negara dalam terwujudnya masyarakat yang tertib dan damai, adil dan makmur yang dijiwai nilai-nilai hidup yang bersumber pada filasafat Pancasila. Rumusan tujuan Pendidikan Nasional mempunyai dua komponen utama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu perkembangan manusia seutuhnya (Dimiyati, 1988).

Penetapan tujuan Pendidikan Nasional yang tepat merupakan masalah yang sangat signifikan menuju perubahan bangsa melalui dunia pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan pusat pengendali dalam pelaksanaan pembelajaran pada sistem pendidikan Nasional. Tanpa adanya perumusan yang jelas terhadap tujuan pendidikan, maka pelaksanaan pendidikan tersebut akan kabur tak terarah. Tujuan pendidikan merupakan sebuah harapan yang deduktif, sehingga perumusannya didapatkan melalui perenungan teoritis dan perenungan filosofis. Tujuan pendidikan menjadi sangat vital, karena di dalamnya terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidikannya maupun lembaga yang mendidik serta negara (Heryanto, 2002).

Pendidikan Nasional Indonesia menurut Heryanto (2002) adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan hukum yang jelas dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila". Pelaksanaan sistem pendidikan Nasional diharapkan mampu mengabadikan diri demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa menuju bangsa yang maju dan bermartabat. Amanat konstitusi tentang pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa harus dijadikan pijakan atau landasan dalam perumusan maupun pelaksanaan pendidikan Nasional. Upaya kearah itu pemerintah semenjak orde lama hingga reformasi telah merumuskan landasan yuridis yang spesifik hingga pelaksanaan teknis dalam dunia pendidikan Nasional, namun sampai saat ini belum menghasilkan sistem pendidikan Nasional seperti yang diharapkan.

Makna mencerdaskan kehidupan bangsa yang terkandung pada alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 adalah ditujukan untuk mengembangkan kapasitas dan integritas secara terus menerus setiap insan Indonesia, melalui peningkatan kualitas fisik, pikir dan kalbu agar mampu memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan, menciptakan dan memanfaatkan peluang, mengidentifikasi masalah serta menemukan alternatif solusi sehingga menjadi bangsa yang maju dan bermartabat. Nilai luhur yang tertuang dalam konstitusi tersebut menjadikan bangsa Indonesia mendambakan adanya pendidikan yang dapat menjamin kualitas manusia Indonesia. Pembangunan di bidang pendidikan digalakkan pemerintah intensif dilakukan semenjal masa orde baru, hal itu diadakan oleh bangsa Indonesia demi tercapainya kemajuan pendidikan yang berarti. Namun diakui pula kemajuan pembangunan pendidikan yag dicapai itu sebagian besar masih dalam artian kuantitas.

Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya sebatas kuantitas saja, tetapi pendidikan Nasional diharapkan mampu memberi kepastian tentang kualitas manusianya secara kognitif dan mentalitas (karakter). Kualitas manusia Indonesia yang diharapkan adalah kualitas yang mencerminkan adanya keseimbangan antara jasmani dan rohani. Harapan bangsa untuk memperoleh kepastian tentang kualitas manusia Indonesia yang berimbang, maka terlebih dahulu kita harus memiliki suatu konsep pendidikan yang jelas. Konsep pendidikan Nasional Indonesia harus berlandasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila serta harus mempertimbangkan perubahan dalam perkembangan kehidupan Masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Konsep dasar pendidikan Nasional yang dikenal dengan konsep pendidikan Pancasila memiliki visi belajar sepanjang hayat, hal itu memiliki kesamaan dengan paham yang dianut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu life long education (belajar sepanjang hidup) (Soedijarto, 2007).

Pancasila adalah landasan filosofis Bangsa memiliki kandungan nilai-nilai yang telah ada sejak zaman purba, namun baru disusun secara formal setelah dideklarasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nilai pendidikan yang tersirat dalam Pancasilan adalah pembentukan manusia yang memiliki kognitif tinggi dan berjiwa luhur (karakter baik). Memperhatikan hal ini maka pelaksanaan pendidikan Nasional dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 ayat 1, diungkapkan bahwa pendidikan itu adalah: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Rumusan tersebut memberikan gambaran bahwa pendidikan Nasional mengharapkan adanya pembelajaran yang menumbuhkan kognitif anak secara simultan dan memiliki karakter serta akhlak yang mulia.

Pada Bab II Pasal 3 dalam rumusan Undang-Undang tersebut mencanangkan pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan kognitif dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan serta bertanggung jawab. Uraian tentang pendidikan Nasional di atas, maka karakteristik manusia yang diharapkan untuk membawa bangsa menjadi bangsa yang maju dan bermartabat adalah melalui proses pendidikan.

Keterlaksanaan sistem pendidikan Nasional yang ideal menurut rumusan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka perlua diperhatikan strategi pembangunan Pendidikan Nasional seperti; Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlaq mulia, Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis, Evakuasi, akriditas, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan, Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan, Menyediakan sarana belajar yang mendidik, Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan, Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata, Pelaksanaan wajib belajar, Pelaksanaan otonomi mamajemen pendidikan, Pemberdayaan peran masyarakat, Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat dan Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Pembangunan pendidikan Nasional berdasarkan strategi tersebut diharapkan pendidikan mampu memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas dan mampu proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dalam mewujudkan tujuan pendidikan menuju berkembangnya potensi diri peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tidak luput dari berbagai macam tantangan, baik yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan manusia baik dari luar maupun dari dalam. Pada abad informasi ini pendidikan Nasional memiliki tantangan untuk menyediakan anak bangsa dalam menghadapi pasar global dan masa yang serba teknologi.

Tantangan-tantangan dunia pendidikan Nasional dalam menghadapi era globalisasi pada abad ke 21 menurut Sujarwo (2007) ada 5 tantangan penting yang membutuhkan solusi secara cepat antara lain :

a. Kualitas Pendidikan

Pendidikan yang berkualitas tudak hanya mengembangkan intelegensi akademik (kognitif) namun juga aspek yang lain, seperti intelegensi emosional, moral, dan spiritual.

b. Demokratis Pendidikan

Semua warga negara mempunyai hak dalam memperoleh pendidikan yang baik serta berkewajiban yang sama dalam meningkatkan dan membangun kualitas pendidikan yang baik.

c. Masalah Persatuan Bangsa

Dalam masa krisis dewasa ini terlihat gejala-gejala ke arah disintegrasi bangsa karena krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang cenderung memunculkan sikap diskriminatif dalam realita pembangunan di berbagai bidang. Di dalam bidang pendidikan terjadi hal yang serupa. Nilai kesatuan dapat ditanamkan apabila peserta didik dapat menghayati antara apa yang disampaikan guru dengan apa yang dialaminya.

d. Heterogenitas

Bangsa Indonesia adalah negara yang heterogen penduduknya sehingga perlu dipikirkan bagaimana cara terbaik dalam mengelola heterogenitas menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi seluruh rakyat, demi kemajuan dan kemartabatan bangsa ke depannya.

e. Identitas

Pendidikan Nasional adalah mengembangkan identitas peserta didik agar ia bangga menjadi bangsa Indonesia dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global pada abad ke 21 sebagai bangsa Indonesia yang berbudidaya.

Adanya reformasi yang dimulai sejak sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1997 yang menggulingkan penguasa orde baru memberikan dampak terhadap dunia pendidikan Nasional. Demokrasi pada prinsipnya dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin persaudaraan hak manusia dengan ridak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama, dan bangsa. Zaman yang mengedepankan demokratisasi dan hak asasi ini diharapkan mampu membawa pendidikan berjalan pada relnya, namu kenyataan yang terjadi pendidikan selalu menjadi kambing hitam dalam kepentingan rezim penguasa. Dalam masa demokratisasi harapan pendidikan sebagaimana terkandung dalam rumusan yuridis akan membawa masyarakat yang memiliki rasa cinta kepada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial demi mewujudkan manusia yang mampu membangun diri sendiri serta bersama-sama demi kemajuan dan kemartabatan bangsa ke depannya (Azra, 2006).

Permasalahan Pendidikan Nasional Indonesia

Pada zaman penjajahan, pendidikan direduksi oleh kepentingan penjajah dan menempatkan proses pendidikan pada proses pentrasisian sistem dan pola. Maka pendidikan hanya dilihat sebagai tempat untuk mencetak pekerja-pekerja murah dan cuma-cuma (romusha). Menata sejarah berarti membangun model pendidikan yang dapat melampaui dua kepentingan. Di satu pihak pendidikan perlu melayani kebutuhan untuk mempersiapkan diri menjadi sumber daya manusia yang tangguh secara kognitif dan mentalitas untuk masa depan yang sebenarnya. Di lain pihak pendidikan perlu melayani anak-anak yang tidak berkepentingan terhadap masa depan, tetapi hanya melihat pengalaman bersekolah sebagai pengalaman masa sekarang secara konkrit dan nyata.

Pendidikan kolonial dan neokolonial yang berpihak pada kaum kaya, kaum berduit, pejabat dan orang-orang elit sangat nampak kelihatan dalam pendidikan Nasional kita yang sudah merdeka lama. Sikap tersebut dapat dibuktikan adanya pada momen penerimaan murid baru di sekolah-sekolah terutama yang sudah ”berlabel”, fenomena itu memperlihatkan dunia pendidikan hanya sebagi hubungan bisnis semata. Belakangan ini dalam dunia pendidikan kita semakin bermunculan sekolah-sekolah yang bercirikan elitis, esklusif serta terpisah dari lingkungan masyarakat yang menjadi wadah sebenarnya. Teralineanisasinya pendidikan Nasional dari sosiokultur (masyarakat) tidak sesuai dengan nilai yang menjiwainya yaitu nilai-nilai Pancasila. Sistem pendidikan Nasional dalam pendekatannya dengan masyarakat terlihat lebih mengedepankan hubungan yang cenderung formal hirarkis yang sarat dengan aneka tekanan dan pemaksaan. Pendidikan Nasional mengedepankan sisi-sisi administratif yang terlalu berlebihan mangakibatkan terjadinya pembatasan ruang gerak dalam menunjukkan substansi dan esensi serta implementasi pembelajaran (Imron, 1993).

Kemerdekaan bangsa semenjak dideklarasikan masih sebatas pada penguasaan penuh terhadap geografis yang terintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemerdekaan belum memberikan makna yang konperehensif dalam semua aspek termasuk pendidikan, hal itu terlihat dengan belum adanya perubahan pendidikan Nasional yang signifikan sebagai sarana pembentukan manusia bangsa yang berkompeten dan bermoral. Kenyataan yang adan memberikan sebuah nilai yang kontra produktif, sebagaimana dengan adanya pergeseran nilai dunia pendidikan yang semakin menjauh dari harapan konstitusi dan Pancasila. Krisis kepercayaan kepada lembaga pendidikan sebagai sentral penggerak kebangkitan bangsa menuju bangsa yang maju dan bermartabat sesuai harapan konstitusi, sudah tampak nyata dengan mengalirnya kritikan yang silih berganti dengan permasalahan yang berbeda pada tubuh pendidikan Nasional.

Pendidikan nasional memiliki sejumlah permasalahan besar mulai masa orde baru sampai sekarang, menurut Azra (2006) ada lima permasalahan yang mendasar. Pertama, kesempatan mendapatkan pendidikan masih tetap terbatas (limited capacity), meski pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan mencanangkan interval waktu terakhir penerapan kebijakan ”wajar” (wajib belajar) 9 tahun hingga 2008/2009. Program itu tidak menjadi sebuah jawaban terakhir dalam hal pemerataan dunia pendidikan dasar untuk semua warga negara. Pemerintah berkewajiban menyediakan biaya (gratis) seperti yang tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31, tetapi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar ini dengan berbagai alasan belum bisa dinikmati seluruh anak bangsa.

Kebijakan pemerintah untuk pemerataan pendidikan dasar untuk seluruh anak bangsa di tanah air sangat terpusat kepada sekolah/madrasah negeri, dengan tidak memberikan perhatian pada sekolah/madrasah swasta yang telah memberikan kontribusi besar dalam pemerataan pendidikan terutama bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Ketidakadilan kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan akan memberikan dampak negatif kepada integrasi bangsa kedepan, interaksi anak didik semua sekolah/madrasah negeri maupun swasta dalam kehidupan sosial akan membentuk sebuah lingkungan dunia pendidikan yang terkotomi dengan jelas antara golongan yang diperhatikan dengan yang tidak. Berawal dari diskriminatif inilah yang akan membentuk karakter anak bangsa ke depan yang cenderung akan bersikap menentang pemerintahan dan tidak mencintai tanah airnya lagi.

Kedua, pendanaan yang masih belum memadai dan merata karena adanya distribusi yang masih tersentralisasi pada daerah perkotaan. Pemerintahan Indonesia dari zaman orde baru sampai zaman reformasi sekarang belum menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam membangun indonesia. Tidak maksimalnya pengembangan pendidikan dikarenakan anggaran pendidikan dari zaman orde baru sampai sekarang masih penyelewengan penggunaan alokasi dana pendidikan. Karakter manusia dalam dunia pendidikan memperlihatkan keprihatinaan mendalam terkait penyelewengan dana pendidikan, hal itu memberikan gambaran kalau pendidikan belum mampu membentuk karakter manusia Indonesia kearah yang di cita-citakan. Pendanaan pendidikan yang masih belum terasa mencukupi kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung, tetapi juga untuk pendapatan (income) yang memadai bagi tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya. Akibatnya kinerja dan profesionalisme jauh dari memuaskan, karena mereka terpaksa memecah perhatian dan membagi waktu untuk memperoleh pendapatan tambahan daripada mencurahkan perhatian dan waktu sepenuhnya bagi anak didiknya.

Pendapatan tenaga pengajar baik guru maupun dosen mulai dilirik oleh kabijakan pemerintah melalui Departemen Pendidikan, ditetapkan dalam suatu perundang-undangan khusus yaitu UU Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Realisasi dari perundang-undangan itu memunculkan kontroversi dikalangan bawah, fenomena itu terungkap dengan adanya sistem penjaringan sertifikasi tenaga pengajar yang menjadi pokok Undang-Undang ini yang kontras dengan tujuannya yang sebagai langkah peningkatan profesionalisme pendidik. Sistem penilaian dengan sistem portofolio yang berisi sertifikat-sertifikat telah memperlihatkan kemunculan para ”mafia” portofolio di daerah, sehingga parameter penilaian yang dipandang masih sangat lemah dan kontras dengan tujuannya yang ingin dicapai melalui proses tersebut. Sistem itu menjadi sebuah barometer bahwa sistem perundang-undangan di dunia pendidikan kita masih belum siap secara praktikal untuk menyampaikan infortant value, yang tidak jarang menjadi perdebatan politik para pemegang kebijakan. Perundang-undangan pendidikan Nasional yang belum begitu signifikan membawa perubahan pendidikan sebagaimana harapan bangsa, realitas tersebut menurut penulis dikarenakan pendidikan selama tidak pernah dijadikan sebagai isu politik tetapi yang berkembang justru pendidikan dijadikan sebagai bahan politik.

Pembiayaan pendidikan yang sudah diatur dalam konstitusi dengan kewajiban negara menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan APBD. Pendanaan pendidikan tersebut sudah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi ”negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan”. Amanat konstitusi tersebut pada sekarang sudah terpenuhi secara formal dalam hal administratifnya, tetapi kontribusi di lapangan masih butuh perumusan yang matang supaya tepat sasaran. Pendanaan pendidikan pada anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2009 mendapatkan pengalokasian dana penyelenggaraan sebesar 224,4 triliun (20%), kebijakan yang mengikuti amanat konstitusi tersebut tidak semata-mata lepas dari kontroversi. Kebijakan tersebut dari perspektif polisi bangsa kita dinyatakan sebagai komoditi politik para politikus pemegang kekuasaan terkait dengan momentum PEMILU pada juli 2009. Dunia pendidikan merupakan lembaga moral tidak akan mampu terselenggara dengan baik tanpa adanya pendanaan yang relevan, dalam hal ini sesuai dengan amanat konstitusi sebesar 20 % dari APBN dan APBD (Suwignyo, 2005).

Ketiga, akuntabilitas yang berkaitan dengan dengan pengembangan dan pemeliharaan sistem dan kualitas pendidikan yang masih timpang. Terdapat kesulitan besar dalam pencapaian kualitas yang standardized, khusus dalam bidang-bidang yang merupakan basic competencies. Kesulitan ini muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan kondisi sosial, budaya, ekonomi di seluruh tanah air, hal itu sudah menjadi sebuah fenomena sosial, hal itu semakin jelas dengan kebijakan pembentukan standarisasi pendidikan yang bersifat menyeluruh, tetapi tidak diikuti dengan penyediaan sistem pelayanan pendidikan yang sama. Sikap diskriminatif kebijakan dalam dunia pendidikan yang menjadi sorotan publik belakangan ini tidak jarang berujung kepada sikap protes yang refresif di seluruh daerah di tanah air, sikap skeptis pemerintah menghadapi polemik sosial tersebut terlihat dengan adanya sikap saling menyalahkan antara legislatif dengan eksekutif dan pemerintah berlindung di balik sistem pemerintahan desentralisasi (otonomi).

Pendidikan nasional berkewajiban membentuk manusia yang cerdas secara kognitif, apektif dan psikomotorik menuju bangsa berkembang yang siap bersaing dengan negara lain. Kebijakan pendidikan belakangan ini sudah menunjukkan revolusi yang maju secara regulatif, formulasi kebijakan pendidikan seharusnya dilewatkan dengan adanya pola interaksi antara peserta perumusan baik yang bersifat formal dan tidak formal (Imron, 1993). Sistem regulasi hukum termasuk mengenai pendidikan masih tumpang tindih antara posisi legislatif sebagai wadah legislasi dengan ekekutif sebagai wadah eksekusi, sehingga peran wakil rakyat (DPR/DPRD) masih mendapatkan tekanan eksekutif (pemerintah) dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Rusaknya sistem pemerintahan kita terlihat pada arena impelementasi kebijakan termasuk dalam pendidikan yang lazimnya berupa sistem birokratif sejati, di mana seharusnya menggunakan kewenangan yang dipakai adalah legal-rasional yang berdasarkan kepada perundangan yang berlaku, tetapi kewenangan yang justru berlaku adalah kewenangan kharismatik yang didasarkan atas adanya jalinan emosional para pelaksana dengan pemimpinnya. Pola impelementasi itulah yang selalu menjadi peletak ketidakadilan dalam dunia pendidikan di tanah air dan berujung kepada ketidak tercapaiannya pembentukan manusia yang memiliki kecerdasan kognitif, apektif dan psikomotorik secara tuntas.

Harmonisasi hubungan internasional yang selalu membuat semua negara termasuk Indonesia berbenah dalam segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Pendidikan Nasional untuk mampu berkompetisi di tingkat internasional maka penting adanya sistem pendidikan yang memiliki isi (contens) yang selevel. Realita itulah yang membuat pemerintah menggalakkan adanya intansi sekolah yang memiliki standar isi selevel internasional (Sekolah Bertaraf Internasional), untuk memotivasi instansi sekolah untuk mampu meraih level/taraf internasional maka pemerintah memberikan dana bantuan bagi yang sudah dianggap layak. Kebijakan pemerintah dalam penlabelan sekolah-sekolah tersebut mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, karena secara realita tidak ada standarisasi yang tetap dan belum memperlihatkan tujuan yang jelas dari penlabelan tersebut terhadap kemajuan dan kemartabatan bangsa. Standarisasi tersebut jika dikatakan menjadi peningkatan mutu pendidikan maka amat keliru, karena di satu sisi kuantitas anak putus sekolah dasar yang semakin meningkat dalam artian pemerataan sekolah dasar pun belum terpenuhi secara menyeluruh, justru pemerintah memberikan bantuan yang sangat besar bagi sekolah berlabel tersebut yang dananya seimbang dengan membangun 3 sekolah dasar di desa yang terpencil.

Sekolah berlabel SBI bukan berarti akhir dari kemajuan dunia pendidikan, tetapi hal tersebut menurut penulis harus ada peninjauan ulang terkait dengan realita yang terjadi terkadang berbenturan dengan filosofis bangsa. Suasana politis mewarnai kebijakan tersebut karena tidak sesuai dengan makna aslinya yang diperuntukkan sebagai instansi sekolah yang memiliki tingkatan kognitif, afektif dan psikomotorik serta sarana dan prasarana stingkat internsional. Hal itu terbukti dengan adanya sekolah berlabel SBI yang secara kandungan isi (contens) tidak ada bedanya dengan sekolah yang biasa, tetapi hanya dibedakan dengan finansial dan bahasa pengantar yang menggunakan bahasa asing (inggris). Fenomena ini justri sangat bertentang dengan sejarah besar sang Nusantara yang sangat heterogen dari segi bahasa tetapi sanggup di satukan dalam ikatan NKRI oleh bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Sekolah berlabel SBI sudah mengajarkan karakter anak dengan bukan dengan bahasa ibu (bahasa indonesia), tetapi bahasa asing yang justru akan menimbulkan millieu psikis anak yang akan mempengaruhi karakternya cenderung mengikuti lingkungan asli bahasa itu berasal.

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bertentangan dengan UUSPN yang menentapkan bahasa pengantar pendidikan adalah bahasa indonesia, penggunaan bahasa asing akan membentuk budaya prilaku anak yang semakin menjauhi nilai-nilai luhur Pancasila. Kebijakan tersebut telah menjadikan dunia pendidikan semakin menjauh dari harapan ideologi bangsa yang sebenarnya, hal itu terakumulasi dari kekeliruan regulasi hukum negara berkembang yang tercengkeram dalam ketergantungan materil kepada bangsa maju. Sikap ketergantungan tersebut telah menuai dampak yang sangat fatal karena mampu mengkontaminasi penyelenggaraan dunia pendidikan yang notabene merupakan wadah yang sangat fundamental dalam pembentukan generasi bangsa kedepannya. Teori depedensi sebagai dikemukakan oleh Gunder Frank (1996) bahwa sistem pendidikan dewasa ini selalu menjadi alat pelestarian sistem masyarakat kapitalis di mana dengan berperannya pendidikan yang berfungsi melestarikan ketergantungan bangsa-bangsa berkembang kepada bangsa maju seperti Amerika Serikat. Kemudian menurut Paulo Freire (1999) bahwa memberikan pendidikan itu pada dasarnya suatu proses pembebasan segala aspek bukan malah peluntur budaya bangsa, pernyataan itu diperkuat oleh Dr. Mulyani Sumantra (2001) yang menyatakan bahwa kurikulum dalam dunia pendidikan merupakan cultur reproduction di mana pendidikan merupakan refleksi kebudayaan bangsa untuk menumbuhkan generasi baru.

Keempat, profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai. Secara kuantitatif jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agak sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga pendidikan yang masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Pendidikan memiliki dua roh sejati yaitu roh akademis dan roh profesional, dimana roh akademis adalah pencapaian suatu penyelenggaraan pendidikan dalam hal kognitif atau materi pembelajaran yang sedang menjadi skala prioritas dalam ketuntasan proses pembelajaran. Pencapaian kognitif yang sangat dikedepankan dalam dunia pendidikan mendapatkan legitimasi hukum karena dipandang akan menjadi penentu negara kedepan. Regulasi hukum yang dimaksud ialah PP no 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional yang kemudian di jelaskan secara teknis dengan Peraturan Menteri no 22, 23 dan 24 tentang standar kelulusan dalam rasionalisasinya masih kontras dengan keadaan dunia pendidikan yang sebenarnya.

Harus diakui bahwa banyak kebijakan pendidikan tentang pencapaian aspek kognitif yang tidak lahir dari penelitian lapangan dalam suasana pembelajaran di sekolah dan masyarakat di Indonesia. Ujian nasional (UN) yang setiap tahun memicu kontroversi karena kebijakan tersebut bukan kebijakan strategis yang mampu menjadi resolusi untuk memajukan pendidikan Nasional. Namun para guru, komite sekolah, orang tua, bahkan DPR sepertinya dipaksa berlelah-lelah berpolemik masalah UN, seolah-olah pemerintah tidak peduli dampaknya bagi masa depan pendidikan secara konprehensif. Ujian Nasional (UN) tahun 2008 justru semakin menjadi-jadi dengan adanya penambahan jumlah mata pelajaran yang di UN kan dari 3 mata pelajaran tahun 2007 menjadi 6 mata pelajaran di tahun 2008.

Buah dari kebijakan yang gonta ganti alat ukur kemampuan kognitif tidak bervisi kedepan menurut YB Mangun wijaya (1999) bahwa alat evaluasi yang terlalu mengedepankan sisi kognitif saja tidak mengajak anak didik untuk berpikir aktif dan kreatif. Secara psikologis ini akan mempengaruhi emosionalitas guru dalam proses belajar mengajar. Guru pasti merasa cemas akan keberhasilan anak didiknya, sehingga seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan dan latihan soal UN yang sudah berlangsung tanpa ada pembelajaran yang merekonstruksi metakognisi anak dalam pengertian yang memadai. Realitas mengungkapkan bahwa soal ujian nasional (UN) adalah hasil penghafalan bukan pembatinan karena yang muncul adalah pilihan ganda. Dalam hal ini guru ibarat orang yang duduk didepan komputer pentium dua dengan keinginan aksesnya cepat melebihi pentium empat.

Suasana pembelajran yang salah urus ini telah membentuk cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada suasana hati yang pesimis dan sikap fasisme. Pengakuan siswa kelas 3 SMA jurusan IPA yang penulis wawan carai” merasa cemas/takut “ akan keberhasilannya pada UN mendatang. Terlebih lagi dengan suasana pembelajaran jelang persiapan UN dia dibebankan dengan pelatihan soal-soal. Konsekuensi logis dari kondisi pembelajaran seperti ini menimbulkan kekacauan serta kebingungan lalu menjadi ajang pergumulan batin peserta didik. Mereka seolah-olah telah terbius oleh tekanan-tekanan yang membatin, sehingga timbul rasa cemas/takut terhadap suatu persoalan. Menurut Fran Sinour Yoseph (1986) dalam Alex Sobur (2003;243) “dalam kecemasan orang terancam, orang terancam keselamatannya itu, sama sekali tidak mengetahui langkah dan cara yang harus diambil untuk menyelamatkan dirinya”.

Kelima, relevansi yang masih tumpang tindih dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Terdapat kecenderungan kuat, bahwa dunia pendidikan Nasional tidak mampu mengantisipasi dan meresponi kebutuhan masyarakat dan perkembangan dunia kerja walaupun sudah dilakukan langkah kebijakan dengan pengadaan satuan pendidikan yang mengedepankan keterampilan peserta didik seperti Sekolah Menengah Kejuruan dan politeknik, hal itu dikarenakan adanya masalah-masalah yang dihadapi program-program satuan pendidikan berbasis keterampilan (Skill) tersebut. Keterbatasan dunia pendidikan dalam mengikuti pergolakan dalam dunia kerja membuat jumlah angkatan tenaga kerja yang tak terdidik terus meningkat setiap tahunnya. Permasalahan politik luar negeri bangsa belakangan ini diwarnai dengan menjamurnya kasus kekerasan kepada para TKI dan TKW kita di negara tempat kerjanya. Sikap ketidakberpihakan pemerintah tercermin dari regulasi hukum dalam menghadapi permasalahan terkait yang masih sangat subyektif.

Dunia pendidikan pun tidak luput dari cengkraman permasalahan yang sekiranya akan membawa kepada nuansa ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang berada pada usia sekolah dengan fasilitas yang disediakan pemerintah. Masalah demikian, lebih terasa setelah animo masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat, karena desakan lingkungan yang menuntut untuk mengerti baca tulis. Masalah tersebut mengharuskan pemerintah untuk mengupayakan pemerataan pendidikan yang tidak sekedar penambahan kuantitas prasarana seperti pengertian pada tahun 70-an tetapi pemerataan yang bekeadilan. Pemerataan dengan jargon sekarang ini di mana layanan pendidikan diupayakan sama tinggi atau sama tingkatannya, di samping sama kualitasnya. Persoalan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mencetak anak bangsa yang cerdas dan bermoral, maka hal tersebut sangat bergantung terhadap adanya kurikulum yang tepat bukan hanya sekedar hasil saduran dari negeri orang. Penerapan kurikulum baru hasil studi banding ke negara luar terkadang tidak efektif dalam impelementasinya karena tidak sesuai dengan sosiokultural bangsa Indonesia. Langkah kontrol kemajuan bangsa dengan studi banding merupakan suatu hal yang positif, hasilnya dijadikan refleksi bangsa kedepan untuk lebih baik. Sistem pembelajaran yang masih tidak visioner (konvensional) menjadi realita untuk melakukan langkah baru sebagai resolusi terhadap sistem pendidikan Nasional menuju bangsa yang maju dan bermartabat (Imron, 1993).

Kehidupan elite pemerintahan bangsa Indonesia yang semakian memperlihatkan adanya degradasi moralitas dalam berbangsa dan bernegara yang sudah diatur dalam regulasi hukum yang jelas. Keberadaan kaum predator duit bangsa yang sering kita sebut koruptor semakin menjamur di seluruh pojok tanah air tercinta. Keberadaan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang semakin bersemangat mengintai dan mendekap para pelaku korupsi menjadi sebuah pertanda bahwa oknum pejabat bangsa kita masih memiliki mentalitas yang kotor. Dunia pendidikanpun tidak lepas dari jamahan tangan haram para koruptor, hal itu terbukti dengan adanya hasil audit BPK terhadap penggunaan anggaran pendidikan pada tahun 2007 yang mendapati penyelewengan sekitar 40% dari jumlah anggaran. Realita tersebut membuat pendidikan Nasional menangis tapi tak mengeluarkan air mata dalam artian merasa merugi dan tidak berhasil tetapi tidak mampu keluar dari lingkaran “setan” tersebut.

Tradisi maling tersebut merupaka dampak dari pendidikan yang belum mampu memberikan kontribusi mentalitas sebagai harapan konstitusi. Pendidikan Nasional yang menurut pandangan masyarakat luas telah gagal membentuk manusia yang memiliki ahlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi banyak peserta didik yang tidak memiliki kesantunan, baik di sekolah, rumah, dan di lingkungan masyarakat. Kemerosotan tersebut harus diakuai adanya sebagai salah satu kegagalan pendidikan agama dan pancasila di sekolah. Pada abad 21 memberikan tekanan kepada kurikulum pendidikan Nasional yang didominasi oleh penekanan kognitif semata dan pelajaran keagamaan dan pancasila yang dipersempit.

Menurut Sujarwo (2006), kualitas pendidikan di Indonesia yang diandalkan sebagai wahana dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Harian KOMPAS tanggal 5 September 2001 memberitakan bahwa Abdul Malik Fajar paa saat itu selaku Mendikbud juga mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terburuk di kawasan Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) melakukan survei yang hasilnya dari 12 negara yang disurvei menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan 12, sedangkan Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Sedangkan berdasarkan hasil survei dari human development indeks tahun 2003, kualitas SDM kita berada di peringkat ke 110 dari 177 negara yang disurvai dan masuk kategori medium human development. Secara kuantitatif masih banyak anak-anak kita yang tidak mendapat layanan pendidikan secara memadai.

Visi Nusantara Di Era Global (abad 21)

Era globalisasi memasuki abad ke-21 yang menjadi tantang berat bangsa Indonesia menimbulkan efek global pula, hal itu menuntut adanya design maker yang memiliki kemampuan yang bisa mensiasati dan mengantisiapasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Globalisasi akan menuntut bangsa yang heterogen dan secara geografis terpisah-pisah untuk mampu semakin ”membuka diri” dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Persaingan antar bangsa akan semakin ketat dan tak dapat dihindari, terutama di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hanya negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan penguasaan IPTEK yang dapat mengambil mamfaat atau keuntungan yang banyak pada era ini.

Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan adanya persetujuan GATT pada putaran Uruguay di Marrakesh yang telah diratifikasi WTO yang dilanjutkan dengan kesepakatan APEC di Bogor tahun 1994 dan di Osaka tahun 1995 yang mengupayakan terbentuknya kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik pada tahun 2020, dan terbentuknya kawasan perdagasan bebas (AFTA) ASEAN yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 (Sujarwo, 2006). Globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, namun juga terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan manusia, bidang sosial, ekonomi, pendidikan, HANKAM dan budaya, bahkan perkembangan global yang paling cepat adalah bidang teknologi informasi. Penguasaan teknologi informasi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat yang akan memenangkan persaingan di kompetisi global. Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetetif.

Disisi lain, pada awal milenium pun seluruh pemerintahan di seluruh dunia dengan mempergunakan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatukan diri untuk membuat suatu deklarasi yang disebut deklarasi milenium (Millenium Development Goals atau MDGs) yaitu tujuan-tujuan yang akan dikembangkan dalam era milenium. Beberapa target yang akan dicapai dalam MDGs antara lain untuk memerangi masalah-masalah yang melanda dunia seperti kemiskinan global, penegakan hak asasi manusia, menyediakan pendidikan bagi seluruh anak-anak di dunia, memperkecil tingkat kematian anak serta peningkatan pengembangan kualitas hidup dan kesehatan manusia diseluruh dunia. Target tersebut dipatok sampai pada tahun 2015. Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa tahun 2015 masalah-masalah tersebut dapat diatasi atau ditekan serendah-rendahnya agar menuju kualitas hidup manusia yang layak dan lebih baik.

Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan. Pendidikan mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan dalam menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan professional pada bidangnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan isi atau target yang akan dicapai oleh MDGs yaitu kualitas pendidikan anak-anak diseluruh dunia.

Secara sederhana Visi Nusantara pada abad ke-21 jika ditulis adalah "Menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society)." Sebagai kerangka kerja Nusantara 21 dapat digambarkan dengan sebuah kendaraan Sebagai wahana transformasi masyarakat menjadi masyarakat berbasis pengetahuan, Nusantara-21 dapat dilihat sebagai suatu kerangka kerja (frame-work) yang dinamis sifatnya. Untuk memahami sosok Nusantara-21 sebagai kerangka kerja transformasi ini, penulis mencoba menggunakan metafora "kendaraan". Dalam metafora ini, lingkungan Nusantara-21 terdiri dari kendaraan (aplikasi yang berbasis pengetahuan), roda (jaringan informasi), jalan (infrastruktur komunikasi beserta regulasinya), rambu-rambu (perangkat hukum), tenaga pendorong (sumber daya telekomunikasi & informatika), tenaga penarik (peluang/kebutuhan masa depan).

Dengan menggunakan metafora ini, proses transformasi masyarakat terlihat sebagai suatu proses yang dinamis dengan menggunakan kendaraan yang bergerak mencapai tujuannya melalui jalan yang dilengkapi rambu-rambu lalu lintas untuk menjamin arah gerakan yang dikehendaki. Lebih lanjut, kendaraan tersebut digerakkan oleh tenaga penggerak baik yang berupa tenaga pendorong maupun yang berupa tenaga penarik. Untuk lebih jelasnya, masing-masing komponen dari Nusantara-21 yang disebutkan di atas akan kami jabarkan lebih lanjut pada uraian berikut:

1. Infrastruktur Komunikasi beserta Regulasinya, komponen ini digambarkan sebagai jalan raya yang lebar yang merepresentasikan segala bentuk media komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi dijital di antara dua atau lebih pihak. Keterpaduan infrastruktur komunikasi dengan regulasinya merupakan aspek penting untuk menjamin keefektifan penggunaan segala bentuk media komunikasi dalam konteks Nusantara-21.

2. Jaringan Informasi, komponen ini digambarkan dalam bentuk roda-roda kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk infrastruktur informasi yang memungkinkan pemanfaatan infrastruktur komunikasi oleh aplikasi secara efisien dan efektif. Banyaknya roda merepresentasikan berbagai macam jalur akses ke infrastruktur komunikasi yang tersedia.

3. Basis Data Pengetahuan, komponen ini digambarkan sebagai lapisan di atas roda-roda kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk informasi yang telah dibangun secara sistematis dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan aplikasinya dan memenuhi standar mutu tertentu. Di samping itu, basis data pengetahuan ini menuntut pengelolaan yang seksama sehingga keabsahan kandungan datanya dapat dijamin. Basis data pengetahuan ini memegang posisi kunci dalam konteks Nusantara-21 karena ia akan menentukan nilai tambah setiap aplikasi yang akan dikembangkan nantinya.

4. Aplikasi, komponen ini digambarkan sebagai lapisan yang berada di atas lapisan basis data pengetahuan. Keduanya, aplikasi dan basis data pengetahuan, membentuk bagian utama dari kendaraan yang akan membawa muatannya (masyarakat tradisional) ke tempat tujuannya (masyarakat berbasis pengetahuan). Keberadaannya yang di atas lapisan basis data pengetahuan merepresentasikan kebergantungannya pada pengetahuan, yang merupakan kunci persaingan global di masa depan.

5. Sumber Daya Telematika, komponen ini digambarkan sebagai tenaga pendorong kendaraan yang merepresentasikan segala bentuk sumber daya yang diperlukan untuk mengimplementasikan program-program Nusantara-21. Sumber daya ini mencakup sumber daya teknologi telekomunikasi dan informatika beserta sumber daya manusianya.

6. Kebutuhan/Peluang, komponen ini digambarkan sebagai tenaga penarik kendaraan yang merepersentasikan segala bentuk kebutuhan masa depan atau peluang baru yang timbul pada era ekonomi digital di masa depan.

7. Perangkat Hukum, adalah segala macam bentuk hukum yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan pengimplementasian Nusantara-21 sesuai dengan kebutuhan masyarakat nantinya.

Strategi umum yang di usulkan untuk Pengembangan Program-program Nusantara-21 adalah dengan melibatkan lebih banyak peran aktor / pemain swasta / masyarakat sendiri dalam proses pembangunannya, pemerintah lebih banyak bertindak sebagai lembaga yang mengatur lingkungan yang kondusif dan fleksibel untuk pembangunan tersebut, mempromosikan mekanisme persaingan bebas dan menjamin keterbukaan akses yang universal bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam kalimat sederhana Nusantara-21 tidak di arahkan menjadi sebuah proyek besar atau mercusuar pemerintah akan tetapi menjadi gerakan masyarakat, oleh masyarakat, dengan dana masyarakat, yang di arahkan & diberikan insentif melalui kebijakan & regulasi pemerintah. Keberhasilan pencapaian visi ini sangat tergantung pada peran swasta dan masyarakat membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan. Kemampuan tersebut hanya mungkin di peroleh jika swasta dan masyarakat terdidik dan berpengetahuan tentang pembangunan infrastruktur dan pemanfaatannya untuk kepentingan mereka yang kesemua itu didapatkan melalui dunia pendidikan yang berkualitas kognitif tinggi.

Secara sederhana, akan ada dua (2) hal yang akan sangat strategis dalam pencapaian visi Nusantara pada abad ke-21 yaitu kemampuan akses ke dunia Internet, dunia informasi & pengetahuan dan tingkat kepandaian bangsa Indonesia, agar dapat membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan maupun memanfaatkannya secara maksimal. Keduanya saling terkait sangat erat. Dalam tulisan ini, fokus akan di berikan kepada strategi sederhana untuk meningkatkan kemampuan akses bangsa ini ke dunia informasi & pengetahuan. Tentunya sebagai guru, penulis mempunyai strategi sendiri dalam meningkatkan kepandaian bangsa Indonesia, yaitu, menganut aliran copyleft & copywrong dan melepas semua tulisan yang ada secara gratis melalui Internet & CDROM selain berinteraksi secara intensif melalui berbagai mailing list di Internet untuk meningkatkan kepandaian bangsa Indonesia khususnya di bidang telematika.

Pola penetrasi massa menjadi bagian integral akan pengetahuan profil dan karakteristik komunitas maya Indonesia di Internet yang sangat strategis untuk berbagai hal. Platform yang digunakan komunitas Internet antara lain :

1. Platform untuk bersilaturahmi, keilmuan dan dunia usaha sangat mendominasi komunitas Indonesia di Internet. Sebagian besar komunitas maya Indonesia di Internet sangat suka untuk bersilaturahmi antar keluarga, antar alumni dan teman. Akan tetapi, untuk menjamin hari depan komunitas keilmuan dan dunia bisnis menjadi tumpuan banyak orang. Memang secara sederhana knowledge based society dapat di identifikasi dari kemauan untuk berilmu dan berbisnis dengan mengandalkan kepandaian otaknya. Dalam bahasa sederhana, sebagian visi yang dicanangkan telah tercapai.

2. Dari jumlah komunitas, jumlah pesan, maupun keaktifan komunitasnya, pornografi di Internet bukanlah hal yang signifikan yang dapat di besar-besarkan. Sialnya, pornografi justru yang paling banyak menghabiskan bandwidth saluran Internet Indonesia karena pengiriman gambar-gambar-nya.

3. Politik bukanlah topik yang menarik bagi sebagian besar komunitas maya Indonesia di Internet, walaupun harus di akui bahwa partisipan dalam komunitas diskusi politik termasuk orang-orang yang paling banyak dan sangat suka bicara.

Pada abad 21 dituntut segala aspek kehidupan bernegara dilaksanakan dengan pemakaian teknologi, termasuk dalam proses pembelajaran yang akan di banjiri oleh media teknologi sebagai langkah praktikal visi Nusantara 21 di wadah pembentuk manusia Indonesia yang intelektual, kritis dan berbudaya. Peran guru tidak menjadi fundamental dalam sistem pendidikan Nasional, di mana guru hanya sebagai pelengkap atas informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari internet. Sedangkan orang tua peserta didik akan berperan dalam pengarah dalam kemandirian anak. Bangsa Indonesia yang termaktub dalam visi Nusantara 21 tersebut sangat membutuhkan adanya pendidikan yang memiliki pembelajaran yang konstruktivis dan memiliki visi pembelaran yang sesuai, tanpa menafikkan adanya jiwa manusia Indonesia yang tetap dalam bingkai Pancasila sebagai indeologi berbangsa.

Resolusi Pendidikan Nasional.

Pada era globalisasi abad 21 di mana akan terindikasi adanya perubahan-prubahan yang menuntut manusia harus memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk mengikuti percaturan tersebut. Adapun kualitas-kualitas yang dimaksud adalah meliputi: kualitas fisik yang menyangkut kualitas lahiriah dan jasmaniah seseorang dan kualitas non fisik berkaitan dengan hal-hal yang bersifat batiniah, non fisik dan kejiwaan. Kualiatas tersebut yang akan mendasari kuliatas yang secara pribadi harus dimiliki seseorang. Pada abad 21 diharapkan untuk kukuh, matang, mantap, kuat dan tidak mudah terobang-ambing dan kemandirian. Kemandirian sendiri memiliki ciri-ciri : bebas, progresif, dan ulet. Kualitas yang memiliki peran vital di era tersebut adalah kualitas hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa yang terindikasi dengan keimanan, ketakwaan, amalan-amalan, tingginya moralitas dan ahlak. Sedangkan selanjutnya adalah kualitas hubungan sesama mahluk yang diindikasikan dengan tingginya rasa solidaritas, kesetiakawanan sosial, tingginya tenggang rasa atau teposeliro, tingginya toleransi dan meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi (Imron, 2003).

Abad 21 yang bertengger kepada IPTEK akan mendorong munculnya perubahan, atau bahkan transformasi kebudayaan manusia secara menyeluruh. Peranan dan dampak IPTEK terhadap kebudayaan dan peradaban manusia mempunyai dua sisi dari koin yang sama; peranan positif sekaligus pula negatifnya. Sisi positifnya adalah mendatangkan kebudayaan material (material culture) yang membuat kehidupan lebih mudah dan convenient. Tetapi pada saat yang sama juga menimbulkan dampak-dampak negatif pada kebudayaan rohaniah (spiritual culture) yang muncul dalam bentuk “demoralisasi” budaya dan nilai-nilai spiritual.

Pada abad 21 di mana semua aspek kehidupan bernegara termasuk dunia pendidikan di mediasi penyelenggaraannya dengan tekonologi komunikasi yang canggih akan mempermudah mengenal budaya Negara lain. Dengan pembentukan nation character dalam kurikulum pendidikan Nasional dapat menekan adanya sistem polarisasi masyarakat oleh budaya asing yang bertentangan dengan budaya bangsa. Mudahnya masuk budaya asing yang kontras dengan budaya bangsa harus dijadikan sebagai batu ujian dalam kekukuhan budaya sendiri, bukan malah dijadikan sebagai lingkungan yang bisa mempolarasisasi milieu psikis kita untuk berprilaku sebagaimana budaya luar tersebut (Sumantra, 2001).

Pentingnya peranan pendidikan Nasional dalam mempersiapkan semua tuntutan zaman pada abad ke-21, maka kerja pendidikan harus dimaksimalkan dalam memediasi pembentukan manusia Indonesia yang cerdas dan bermoral menuju bangsa yang kompetitif. Vitalitas peran pendidikan Nasional dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang kompetitif pada abad yang diwarnai dengan teknologi informasi tersebut, maka harus memperhatikan ketuntasan kognitif tanpa melupakan peran lainnya sebagai pembentuk karakter manusia Indonesia sejati. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sangat heterogen dalam hal agama dan budaya bukan berarti menekankan manusia Indonesia untuk resisten terhadap kamajuan teknologi informasi. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan manusia Indonesia untuk tetap mendapatkan kepentingan yang bersifat manusiawi secara adil tetapi harus tetap beradab. Pendidikan Nasional yang berlandaskan pada filsafat Pancasila harus mampu bertindak adil dalam ketercapaiannya yaitu mampu membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan bermoral.

Kualitas pendidikan Nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar yaitu salah satunya pembenahan moral manusia Indonesia, tidak boleh membuat kita mundur, tetapi harus berpikir untuk mecari jalan keluarnya. Pelaksanaan pendidikan Nasional sudah saatnya untuk membentuk sebuah rumusan tujuan yang mampu menopang bangsa untuk merealisasikan visi Nusantara 21. Tujuan pendidikan Nasional harus mengambil hikmah dari tujuan pendidikan China yang telah berhasil membawa menjadi salah satu negara maju di dunia. Refleksi diri bangsa dari negara China akan lebih baik karena pertimbangan sosiokultural yang tidak jauh beda. Tujuan pendidikan harus berjalan sevisi dengan pembanguan Nasional terkait strategi menghadapi abad informasi sekarang ini.

Tuntutan yang sangat berat bagi bangsa kita untuk mampu beradapatasi dengan lingkungan internasional pada abad ke-21, maka pendidikan Nasional harus diarahkan pada visi yang jelas salah satunya adalah sebagai upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Menurut Raka Joni (2005), mengemukakan bahwa pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi. Melainkan juga mampu membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan SDM yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi di dunia global.

Pendidikan Nasional harus memiliki visi yang sejalan dengan visi pembangunan atau visi Nusantara 21 yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, demi meningkatnya kecerdasan dan keterampilan anak didik dan pembentukan karakter dan kepribadian manusia bangsa (Nation dan character building). Dari hal tersebut maka pengembangan kurikulum harus ada penekanan pada prosesnya untuk mementingkan adanya ketercapaian visi tersebut dalam hal kemampuan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan berkarakterkan Garuda Pancasila. Abad ke-21 yang menekankan kemampuan manusia secara global untuk menguasai IPTEK harus diberikan apresiasi karena akan memberikan motivasi untuk menjadi bangsa yang maju, tetapi bangsa juga tidak boleh lengah terhadap terjaganya kemartabatan bangsa.

Berhadapan dengan abad ke-21 maka tergambarkan bahwa pendidikan Nasional memikul beban yang lebih berat dibandingkan dengan Negara maju, di mana pendidikan Nasional tidak hanya untuk dijadikan sebagai media transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi lebih luas lagi yaitu pembudayaan (enkulturisasi), salah satunya adalah pembentukan karakter dan watak (nation dan character building) menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang bermartabat. Peran yang lebih berat tersebut akan lebih ringan jika ada komitmen bersama antara semua elemen bangsa dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Pendidikan Nasional dalam ketercapaian tujuan yang bervisi tersebut harus diiringi dengan sistem pembelajaran yang visioner, sehingga arahnya jelas dan efektif dan tidak sekedar dalam penguasaan konsep yang tidak memiliki kontribusi penting terhadap ketuntasan visi tersebut.

Jika manusia Indonesia pada abad ke-21 di tuntut berkualitas dari segi kognitif dan moralitas, maka harus diiringi dengan kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yang relevan. Menurut Imron (2003) pemerintah harus memiliki tujuh kebijakan yang terkait dengan era globalisasi yaitu :

1. Peningkatan kualitas pendidikan harus diperioritaskan.

2. Peningkatan kesiapan peserta didik menghadapi dunia yang selalu berubah.

3. Peningkatan kemandirian anak melalui pengajaran.

4. Mengarahkan anak didik di lembaga pendidikan kearah karya nyata

5. Penanaman kedisplinan yang tinggi kepada peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan.

6. Penanaman keimanan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

7. Penanaman kesetiakawanan di antara teman sebangsa

Berangkat dari kebijakan untuk menuju kualitas secara karakteristik dan moralitas sejati berdasarkan nilai-nilai Pancasila maka Pendidikan Nasional sudah sepatutnya menerapkan pendidikan karakter dan pembelajaran yang visioner dalam kurikulumnya untuk menghindari “kelatahan sosial” yang semakin marak dalam masyarakat bangsa seperti; tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, dan hak asasi manusia yang mendahulukan hak tanpa memperhatikan kewajiban yang pada akhirnya akan berkembang kepada berlakunya hukum rimba dan kesukubangsaan (ethnicity). Ketimpangan inilah yang sering menjadi pemicu adanya amuk masa/amuk sosial sebagai langkah meluapkan perasaan yang tak terkendali akibat frustasi.

Kelatahan sosial yang berawal dari lulusan pendidikan yang miskin dalam pengalaman praktis, kreativitas dan keterampilan kepemimpinan, maka pemerintah harus membentuk kebijakan untuk melakukan program resolusi pendidikan tentang pentingnya pendidikan karakter. Program pendidikan karakter harus dicanangkan cepat dan diimplementasikan di pendidikan Nasional dengan efektif demi menghadapi tantangan yang bercorak karakteristik pada abad ke-21. Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral yang hanya bersifat kognitif semata, seperti PPKN, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Sedangkan pendidikan moral yang sedang berlangsung, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi (emosi), dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama. Realitas membuktikan di mana para pemimpin bangsa yang notabene sangat pintar secara kognitif dalam masalah moralitas, tetapi memiliki karakter yang kontras sehingga hukuman tidak menjawab perubahan untuk lebih baik.

Menurut Azra (2006) Permasalahan moralitas tersebut menjadi tekanan kepada pendidikan Nasional harus mulai merumuskan pendidikan karakter yang mengedapkan budi pekerti yang integratif sebagai bentuk tanggung jawab sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Pendidikan karakter akan mampu membentuk karakter anak-anak bangsa melalui langkah sebagai berikut;

Pertama, menerapkan pendekatan modeling dan exemplary. Yakni mencoba membiasakan peserta didik dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan memberikan model atau teladan. Dalam hal ini, setiap guru, tenag administrasi, dan lain-lain di lingkungan sekolah haruslah menjadi “contoh teladan yang hidup” bagi para peserta didik. Selain itu, mereka harus siap untuk bersikap terbuka dan mendiskusikan nilai-nilai yang baik tersebut dengan para peserta didik untuk membentuk proses internalisasi intelektual bagi peserta didik.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasi secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik atau buruk. Ini bisa dilakukan dengan langkah-langkah; memberikan ganjaran (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai baik secara terbuka dan kontinu. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternative sikap dan tindakan; senantiasa membiasakan bersikap dan bertindak atas niat yang baik, dan tujuan yang ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola baik, yang diulangi terus-menerus dan konsisten.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal itu bisa dilakukan, antara lain, dengan sebisa mungkin memasukkan character based approach kedala setiap pelajaran yang ada. Atau memasukkan rorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan atau berkaitan, seperti mata pelajaran agama dan PPKn.

Kebijakan pemerintah di atas mengenai ketercapaian kualitas manusia secara kognitif maka untuk menghadapi revolusi informasi pada abad 21 penting adanya pembelajaran visioner dalam pendidikan Nasional. Karaktersitik abad ke-21 yaitu lebih mengedepankan teknologi dan pengetahuan (kognitif) dan memperkecil cakupan karakter manusia yang sesuai dengan indeologi bangsa. Karakter kehidupan pada abad ke-21 dirincikan dengan ciri-ciri antara lain; Basic skills, teknologi skills, problem solving skills, multicultural/multilingual literacy, interpersonal skills, inquiry/reasoning skills, communication skills, critical and creative thingking skills dan information/digital literacy.

Pembelajaran visioner harus mampu megubah paradigma dalam dunia pendidikan yang sudah lama menjadi tradisi yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru sehingga pembelajaran kelihatan hanya sebagai suatu penyampaian informasi satu arah saja. Sistem tersebut akan menyebabkan pembelajaran menjadi membosankan karena bersifat monoton tanpa ada suatu hal yang memotovasi anak didik untuk mengeluarkan kreatifitasnya. Pembelajaran harus memiliki visi untuk mampu membawa bangsa beradaptasi di lingkungan abad ke-21, maka harus ada pengupayaan untuk menata lingkungan belajar agar terjadi proses belajar pada diri si pebelajar. Upaya menata lingkungan pembelajaran terkait dengan mencapaian visi abad ke-21 maka harus menyediakan sumber-sumber belajar, misalnya; guru, buku teks, bahan pembelajaran, orang sumber, televisi, VCD, radio-kaset, majalah, koran, internet, CD-ROM, lingkungan dan bahkan juga teman sendiri. Dengan upaya tersebut diharapkan akan terjadi interaksi yang positif sehingga melahirkan kreatifitas dan penguasaan terhadap sumber belajar tersebut.

Guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi guru sebagai pengelola pembelajaran dengan sumber belajar yang dapat memprakarsai proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Fungsi guru sebagai perancang pembelajaran dengan merancang sumber-sumber pembelajaran agar belajar menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih menarik dan lebih menyenangkan. Pembelajaran harus mampu menimbulkan interaksi positif antara pembelajar (siswa, mahasiswa, santri, karyawan, masyarakat), isi (apa isi yang diajarkan; fakta, konsep, prinsip, pemecahan masalah dsb), tujuan (pengetahuan, sikap, prilaku), lingkungan belajar (di kelas, laboratorium, perpustakaan, alam), pembelajar (guru), sumber belajar (buku, majalah, koran, VCD, komputer, radio, internet), strategi (pengelolaan, penyampaian, pengorganisasian), evaluasi (kognitif, apektif, psikomotorik).

Gambaran tentang pembelajaran visioner dan pendidikan di atas maka akan lebih membawa perubahan yang signifikan dan konprehensif dalam membawa bangsa lebih maju dan bermartabat pada abad ke-21. Pendidikan Nasional dalam menghadapi abad ke-21 harus menerapkan kolaborasi antara Pembelajaran visioner dengan pendidikan pada pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup). Sistem kolaboratif dalam dunia pendidikan tersebut akan menghasilkan perubahan dalam pendidikan Nasional dalam pelaksanaannya sesuai dengan 4 pilar pendidikan yaitu Learning to know (Belajar untuk menguasai pengetahuan), (2) Learning to do (Belajar untuk menguasai keterampilan), (3) Learning to be (Belajar untuk mengembangkan diri), (4) Learning to live together (Belajar untuk hidup bermasyarakat).

a. Learning to know / learning to think (belajar untuk mengetahui/ berpikir)

Belajar untuk mengetahui mengimplikasikan bagaimana cara belajar dengan mengembangkan konsentrasi seseorang, ketrampilan memori dan kemampuan untuk berpikir. Dari masa kanak-kanak, remaja harus belajar bagaimana cara berkonsentrasi objek dan pada orang lain. Proses ini meningkatkan ketrampilan berkonsentrasi dan dapat membantu individu untuk berpeluang belajar dari banyak hal yang berbeda-beda berbeda selama hidup masyarakat (Delors, 2005).Learning to know dapat juga diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawab atas masalah yang dihadapi secara ilmiah (Soedijarto, 2007).

Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia yang mampu untuk mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai.

Berpikir secara terus-menerus bukanlah hal yang mudah. Termasuk disini adalah berpikir rasional dan kritis, tidak sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang ada, stgnan dan tumpul (Azizy,2003:30). Jika hal ini dapat dilakukan secara baik, akan menjadikan seseorang independen, mandiri, gemar membaca, memiliki pertimbangan rasional dan logis serta memiliki curiosity (rasa ingin tahu) yang tinggi yang dapat meningkatkan kualitas diri individu untuk menghadapi tantangan zaman. Lebih dari itu dalam abad 21 ini, berpikir ditantang untuk mengikuti perkembangan dan sekaligus mengembangkan alat-alat yang digunakan dalam teknologi informasi yang menjadi salah satu ciri era globalisasi.

b. Learning to do (belajar bagaimana berbuat/ bekerja)

Belajar untuk berbuat atau melakukan sesuatu sangat penting. Pada berbagai kondisi, sejumlah ketrampilan dan kompetensi yang sudah diperoleh akan lebih terlihat jelas apabila siswa diberikan kesempatan mempraktekkan sehingga menjadi pengalaman yang nyata (Delors,1992:21). Hal ini memerlukan apa yang dinamakan kompetensi personal pada masing-masing individu. Kompentensi personal mengisyaratkan campuran ketrampilan dan bakat, dikombinasikan dengan keterampilan teknis yang dipersyaratkan dan latihan kejuruan, perilaku sosial, prakarsa pribadi dan suatu kesediaan untuk menanggung risiko (Delors, 2005).

Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna ‘’Active Learning‘’. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill).

Menurut Dewey (dalam Sujarwo, 2007) bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di sintesis dari materi yang telah dipelajari bagaimanapun pendidikan dituntut untuk menjadikan peserta didik setelah lulus mampu berbuat dan memperbaiki kualitas hidupnya. Dengan ketatnya kompetisi global kita dituntut untuk semakin professional, mempunyai skill yang mantap unntuk mampu berkompetisi.

c. Learning to Be ( belajar menjadi diri sendiri/ menggali potensi diri)

Tiap individu berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing (Individual deferences). Identifikasi dan pemahaman terhadap diri sendiri akan membantu dalam meningkatkan kualitas diri. Pendidikan haruslah mengajarkan kepada peserta didik agar “tahu diri” sehingga sadar atas kekurangan dan kemampuannya sendiri. Selain itu menjadi diri sendiri diartikan juga sebagai proses diri untuk belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, yang sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri baik untuk diri sendiri maupun di masyarakat (Rahbini, 2007).

d. Learning to live together (Belajar hidup bersama/bermasyarakat)

Salah satu dari tugas pendidikan adalah untuk mengajar para murid dan para siswa tentang keanekaragaman manusia dan untuk menanamkan pada mereka suatu kesadaran persamaan dan saling ketergantungan dari semua orang-orang (Delors, 2005). Dengan kata lain siswa dibangun kesadaran adanya pluralisme dan menerima kenyataan banyaknya perbedaan dan latar belakang, tradisi, sejarah, budaya dan nilai-nilai masing-masing individu (Delors,1992:20).

Lebih dari itu, apakah pendidikan disajikan oleh keluarga, masyarakat atau sekolah, anak-anak harus diajar untuk memahami reaksi orang lain dengan memperhatikan berbagai hal dari segi pandangan mereka (empati). Dimana jika sikap empati ini didukung sekolah maka hal ini mempunyai suatu efek positif pada perilaku sosial pemuda. Pemahaman terhadap pluralisme menyadarkan kita akan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan semacamnya. Abad 21 adalah abad global sekaligus plural.

Dalam masyarakat Indonesia misalnya dikenal istilah SARA yang pada dasarnya netral dan banyak mengandung potensi positif. Dunia realitas memang terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama, budaya dan bermacam-macam perbedaan. Sikap eksklusivisme yang hanya mau hidup sendiri dan tidak memperhitungkan orang lain tidak dapat terjadi. Kenyataan ini semakin konkrit dengan adanya globalisasi yang dikuasai oleh alat-alat teknologi informasi, dimana pluralisme sama sekali tak bisa dihindari. Oleh karena itu cara yang harus ditempuh adalah kesanggupan untuk belajar hidup berdampingan bersama-sama tanpa harus uniformity (serba satu); dan saling memanfaatkan potensi positifnya untuk saling menopang dalam kehidupan bersama (Azizy,2002:33-34).

Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah pendidikan memang tidak dijadikan prioritas utama dalam pembangunan. Dari 7 prioritas pembangunan yang dicanangkan Susilo Bambang Yudhoyono, pembangunan pendidikan tidak termasuk di dalamnya. Akibatnya, banyak kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah bertentangan dengan isi UUD 45 hasil amendemen.

Pada implementasinya, infrastruktur dan sarana pendidikan sering kali tidak memadai. Namun, Mendiknas Bambang Sudibyo tidak mau menyebut program pembebasan biaya sekolah yang digulirkannya sebagai program "sekolah gratis". Mendiknas hanya berani menyebut program tersebut sebagai "sekolah gratis terbatas". Sikap "setengah hati" pemerintah seperti ini, berimbas pada berbagai kebijakan lainnya. Sebut saja, program pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun). Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Nanang Fatah, M.Pd., selama pemerintah belum menjalankan komitmen pendidikannya sesuai dengan yang diamanatkan UU, sulit mengharapkan dunia pendidikan Indonesia lebih baik. Sebab, perbaikan pendidikan Indonesia terkait dengan banyak hal. Tidak melulu sekadar anggaran, tetapi juga political will provinsi dan kota/kabupaten dalam menetapkan sharing anggaran. Termasuk political will dan good will pemerintah dalam menangani masalah kesejahteraan guru. Selama pemerintah masih melakukan pendekatan pragmatisme dalam pengelolaan pendidikan, jangan harap kondisi pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Pemerintah harus konsisten menerapkan 20 % anggaran pendidikan dari APBN dan pendidikan jangan lagi dijadikan sarana untuk memperoleh keuntungan sesaat. Tetapi, harus menjadi lahan untuk mengasah hasrat berpikir siswa dan menempa tanggung jawab mereka terhadap pengembangan kehidupan

Penutup/Kesimpulan

Pendidikan Nasional harus mampu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi. Pendidikan Nasional diharapkan akan mampu membentuk manusia Indonesia yang intelektual dan bermoral sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam menjalani abad ke-21 yang serba terkonologi informasi memberikan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat terutama di sisi moralitas, hal itu terlihat dengan penyalahgunaan sarana informasi (internet). Realita tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pendidikan Nasional untuk mampu menjadi sarana peningkatan kognitif dan mentalitas, solusi bagi pendidikan yang belum memiliki kualitas untuk itu, maka perlu diterapkan pendidikan karakter dan pembelajaran visioner.

Daftar Rujukan

Anonim, 2006. http://www.dkn.go.id/xDknWeb/xBidang/xSosbud/. ”Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Diakses tanggal 26 November 2008

Anonim, 2008. http://pakguruonline.pendidikan.net/. ”Buku tua pakguru dasar”. Diakses tanggal 26 November 2008

Azra, A. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Buku Kompas

Dimiyati. 1988. Landasan Kependidikan. Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang Kegiatan Pendidikan. Depdikbud: Jakarta

Frank, Gunder. 1996. Modern Education. New York. Book Company.

Freire, Paulo. 1999. Biologi Teachers Hand Book. Sage University

Heryanto, Nunu. 2002. http://tumoutou.net/3_sem1_012/nunu_h.htm. 3/11/2007. ”Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan (Suatu Tinjauan Filsafat Sains)”. Diakses tanggal 26 November 2008.

Imran, A. 1993. Kebijakan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara

PP No. 19 tahun 2005 tentang sistem Standarisasi Nasional

Raka Joni, T. 2005. Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru: Naskah Akademik. Naskah disiapkan untuk Komisi Khusus PGSD, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Komisi Khusus PGSD T.

Rahbini, Khazin D. 2007. Empat (4) Pilar Proses Pendidikan. (Online) (http://bani-rahbini.blogspot.com/2007/05/empat-4-pilar-proses-pendidikan.html, diakses 30 November 2007)

Sujarwo. Reorientasi Pengembangan Pendidikan di Era Global. (Online) (http://pakguruonline.pendidikan.net, diakses 30 November 2007)

Soedijarto. 2007. Pendidikan yang “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia. Dalam A.Ferry T. Indratno (Ed), Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. (hal. 3-36). Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Suwignyo, Agus. 2007. Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan. Dalam A.Ferry T. Indratno (Ed), Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. (hal. 37-64). Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Sumantra, Mulyani. 2001. Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Bhratara Jakarta

UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tidak ada komentar: