Jumat, 12 Desember 2008

Guru dan Konselor

KERJASAMA GURU DAN KONSELOR SEBAGAI RESOLUSI KECEMASAN SISWA MENGHADAPI UN (Ujian Nasional)

1. Bagaimana timbulnya kecemasan siswa dalam menghadapi ujian nasional

Semua orang melagamai kecemasan misalnya gelisah anaknya belum pulang, bagi peserta didik biasanya geliah kalau terlambat ke tempat ujian dan lain sebainya. Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan, timbul secara mendadak, dan ini bisa terjadi di semua objek kegiatan baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun pendidikan. Wayan sudana (2006; 31) mengemukakan “kecemasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan”. Sumber utama kecemasan pada peserta didik adalah ketakutan akan gagal terutama pada siswa yang belajarnya rendah. Jika seseorang dilanda suatu kecemasan panjang tanpa akhir, secara psikologis ia sebenarnya sudah berada dalam bahaya kehancuran diri. Frans Sinuor Yoseph (1986) dalam Alex Sobur (2003, 342) mengatakan “dalam kecemasan orang terancam, orang yang terancam keselamatannya, sama sekali tidak mengetahui langkah dan cara yang harus dambil untuk menyelamatkan dirnya”.

Ujian nasional (UN) dengan sistem pemberlakuan nilai minimal rata-rata secara nasional dijadikan indikator utama untuk mengetahui standar mutu pendidikan nasional Indonesia sebagai mana dimaksud pada UU No. 20 tahun 2003 menimbulkan kecemasan, bukan hanya pada peserta didik dan orang tua tetapi juga guru dan elmen masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya penambahan sejumlah mata pelajaran yang akan di uji nasionalkan pada tahun pelajaran 2007/2008. Kecemasan orang tua dan guru berpengaruh terhadap kecemasan anak didik. Di rumah anak didik ditekan belajar oleh orang tua, di sekolah dia dihadapkan berbagai model pembelajaran guru. Tindakan ini membuat anak didik semakin bingung dan ragu-ragu terhadap potensi dirinya.

Gambaran hasil banyaknya siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN) pada tahun pelajaran 2006/2007 sangat memperihatinkan, siapapun akan sedih jika mengetahui sejumlah sekolah yang tidak mampu meluluskan siswanya. Bagaimana dengan ujian nasional tahun 2008 dengan bertambahnya sejumlah mata pelajaran dan naiknya setandar pelulusan (4,267 tahun 2007, 5,02 tahun 2008) ?. Persoalan ini menambah konflik yang membatin pesrta didik sehingga mekanisme pertahanan dirinya semakin melemah. Alex Sobur (2003, 342) mengemukakan “kuat lemahnya mekanisme pertahana diri seseorang berkolerasi dengan sejumlah konflik yang terjadi pada dirinya”

. Implementasi dari lemahnya pertahanan diri peserta didik dalam memerangi kecemasannya adalah (1) melakukan aksi unjuk rasa menolak penambahan mata pelajaran seperti di lakukan ratusan siswa SMU se-Jabotabek kegedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. (2) melakukan sikap harap-harap pada teman, guru dan membuat catatan kecil diselipkan di sepatu, lengan baju dan lain sebagainya. (3) yang terburuk adalah pasrah dengan menjawab soal dengan sistim arisan. Konsekuensi logis dari lemahnya pertahan diri siswa memerangi kecemasannya, ketika hasil ujian nasional mengecewakan adalah bunuh diri. Kasus ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat siswa SMA di temukan tewas karena gantung diri, buang diri di kali, minum racun (dampak UN tahun 2006/2007).

2. Bagaimana bentuk kerjasama guru dan konselor dalam mengatasi kecemasan siswa menghadapai ujian nasional

Pemetaan kondisi pendidikan nasional melalui ujian nasional dicanangkan pemerintah menimbulkan rasa kehawatiran guru terhadap siswanya tidak bisa menjawab soal-soal ujian nasional, para siswa diberi jawaban lebih dahulu. Selain itu pengawas UN dengan sengaja melonggarkan pengawasan sehingga para siswa punya kesempatan untuk saling mencontek jawaban. Cara ini tidak menggambarkan profesionalitas guru sebagai agen pembelajaran.

Sikap kerjasama dan saling ketergantungan antara guru,konselor, dan siswa harus ditumbuhkan sejak awal. Keberhasilan siswa harus dijadikan visi bersama untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mencapai standar pelulusan. Dalam hal ini penulis mencoba menggambarkan dalam sebuah diagram berikut :


Bila orang berada dalam suatu kecemasan, ia cendrungan menginginkan kehadiran orang lain untuk membantu dia mencapai harapan yang tidak dapat dicapai secara personal. Dalam dunia pendidikan banyak harapan-harapan guru, konselor, maupun siswa terutama terkait dengan pencapaian standar pelulusan tidak bisa terselesaikan tanpa adanya kolaborasi dengan orang lain. Hanya dengan sikap saling ketergantungan (interdependence) antara guru, konselor, dan siswa persoalan tersebut dapat terselesaikan. Sikap interdependence yang dinamis memotivasi peserta didik mengenal pertahanan emosionalnya dalam menghadapi ujian nasional.

Dari diagram tersebut di atas dapat dilihat bentuk kerjasama antara guru, konselor dan siswa dalam mencapai standar pelulusan ;

1. Antara guru dan siswa harus duduk bersama-sama memecahkan persoalan belajar pada mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Guru sebagai model pembelajaran, dan siswa diterjadikan sebagai teman belajar.

2. Antara konselor dan siswa duduk berasama memecahkan paktor-paktor penyebab kesulitan belajar, baik paktor psikologis maupun biologis yang dirasakan siswa. Konselor memberikan layanan yang memandirikan siswa.

3. Selanjutnya guru, konselor, dan siswa menjadikan standar pelulusan sebagai visi bersama dan berkolaborasi secara terus- menerus dalam mencapai tujuan bersama pada tujuan yang sama.

Johnson dan Johnson (1991a) mengemukakan “ada kolerasi positif antara sikap ketergantungan dengan pencapaian tujuan”. Tujuan mencakup hubungan emosinal antara guru, konselor, dan siswa, dan mengarahkan mereka menuju usaha-usaha terkoordinir. Tujuan merupakan harapan masa depan, karenanya tujuan perlu dioperasional secara kooperatif dalam mencapai standar pelulusan.

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan

1. Ujian nasional (UN) dengan sistem pemberlakuan nilai minimal rata-rata secara nasional dijadikan indikator utama untuk mengetahui standar mutu pendidikan nasional Indonesia sebagai mana dimaksud pada UU No. 20 tahun 2003 menimbulkan kecemasan, bukan hanya pada peserta didik dan orang tua tetepi juga guru dan elemen masyarakat.

2. Dalam kecemasan orang terancam, orang yang terancam keselamatannya, sama sekali tidak mengetahui langkah dan cara yang harus dambil untuk menyelamatkan dirnya. Siswa adalah orang yang terancam, mereka dalam posisi yang berhaya.

3. Lepas dari perubahan sistem standarisasi pelulusan yang ditetapkan pemerintah, guru, konselor sekolah, dan siswa terus berkolaborasi dan menjdikan standar pelulusan sebagai visi bersama dengan mengembangkan sikap saling keterganungan untuk mencapai tujuan yang sama.

Tidak ada komentar: